Kritik Pemikiran Munawir Sjadzali
Tentang
Pembagian Harta Warisan
Antara Anak Laki-Laki dan Perempuan
Oleh Aco Wahab, S.Si, S.H.I
BAB I
PENDAHULUAN
A. A. Latar Belakang
Setiap
manusia pasti akan merasakan mati dan meninggalkan seluruh apa yang dimilikinya
di dunia seperti orang tua, anak, istri, maupun harta. Kematian tersebut
menimbulkan kewajiban orang lain bagi diri mayyit yang berhubungan
dengan pengurusan jenazahnya. Dengan kematian itu timbul pula akibat hukum lain
secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para
keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya. Adanya kematian
seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimana
cara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarga (ahli waris), yang dikenal
dengan nama Hukum Waris. Di Indonesia sendiri ada 3 hukum waris yang digunakan
yaitu hukum waris Islam, hukum waris adat, hukum waris perdata.
Penerapan
pembagian warisan di Indonesia yang sesuai dengan apa yang ditetapkan Allah
dalam Al-Quran saat ini terlupakan bahkan terabaikan. Entah karena sedikitnya
orang yang menguasai ilmu faraaidhl atau karena ketidaktahuan sebagian besar
muslim di Indonesia tentang kewajiban membagi harta waris berdasarkan syariat.
Masyarakat saat ini cenderung membagi harta waris menggunakan aturan/ kaidah
adat daerahnya masing-masing ataupun hukum perdata walaupun seyogyanya mereka
adalah muslim.
Sedikitnya
perhatian kaum muslimin dalam ilmu faraaidhl menyebabkan ilmu faraaidhl menjadi
terlupakan. Ditambah lagi adanya orang-orang yang berupaya menafsirkan secara
bebas ayat-ayat faraaidhl berdasarkan ra’yu dan hawa nafsunya kian menambah
masalah. Diantaranya pemikiran tokoh liberal dari Suriah Muhammad Syahrur
tentang teori Nadzriat Al-Hudud (Teori Limit) dalam Al-Kitab wa
Al-Quran: Qiraah Mu’ashirah dan Nahwu Ushul Jadidah Li Al-Fiqh Al-Islami. Termasuk juga tokoh dari dalam negeri sendiri
seperti Munawir Sjadzali yang menganggap pembagian waris antara laki-laki dan
perempuan dalam Islam dinilai tidak adil. Sebagaiman pernyataannya dalam buku Ijtihad Kemanusian “Pembagian warisan anak
laki-laki mendapatkan dua kali lebih banyak dari anak perempuan itu tidak lagi
mencerminkan semangat keadilan untuk masyarakat kita sekarang ini....”.
Oleh sebab itu dalam makalah ini akan membantah pemikiran Munawir Sjadzali
mengenai pembagian harta warisan anak laki-laki dan perempuan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana pemikiran Munawir Sjadzali
tentang pembagian harta warisan antara anak laki-laki dan perempuan?
2. Apa kritik pemikiran Munawir
Sjadzali tentang pembagian harta warisan antara anak laki-laki dan perempuan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Munawir Sjadzali
1.
Riwayat
Hidup
Munawir
Sjadzali lahir tanggal 7 November 1925, di Desa Karanganom, Klaten. Buah hati
dari Abu Aswad Hasan Sjadzali bin Tohari (yang lebih dikenal dengan KH.
Mughofir) dan Byai Tas’iyah. Anak tertua dari delapan orang bersaudara, Masa
kecil dilalui di desa kelahirannya Karanganom, Klaten, Jawa Tengah dalam
keluarga sederhana dan taat beragama. Dimana
Ayah dan ibunya juga mendidiknya dengan ilmu agama.[1] Pada tahun 1950[2] Munawir Sjadzali menikah
dengan Murni yang merupakan putri Tas Sekti.[3] Beliau dikarunia enam
orang anak, yaitu Muclis, Mustahdiyati, Mustain, Muhtadi, Mutiawati dan
Muflihatun, serta 14 cucu.[4]
Munawir Sjadzali semasa hidupnya banyak
mendapatkan penghargaan. Diantaranya adalah Bintang Mahaputra Adipradana dan Satyalencana
Karya Satya Kelas II dari Pemerintah Indonesia, Great Cordon of Merit dari
Pemerintah Qatar, Medallion of the Order of Quwait-Special Class dari Kuwait, Heung
in Medal-Second Class dari Korea Selatan, Order of The Yugoslav Flag with Golden Wreath dari
Yugoslavia dan Tokoh Maal Hijrah 1415 dari Malaysia.[5]
Adapun beberapa karya tulis Munawir
Sjadzali adalah “Ijtihad Dalam Sorotan” yang
diterbitkan pada tahun 1990. Kemudian “Islam
dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran yang diterbitkan pada tahun
1992. Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa
Ini diterbitkan pada tahun 1994, dan
Ijtihad Kemanusian yang diterbitkan
pada tahun 1997. Serta buku Islam:
Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa dan Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam?
Beliau
meninggal di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakata, pada hari Jumat 23 Juli 2004
pukul 11.20. Jenazah mantan anggota Dewan Pertimbangan Agung (1993-1998) ini
disemayamkan di rumah duka di Jalan Bangka VII No.5-B Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan, dan dimakamkan di tempat pemakaman keluarga Giritama, Bogor, Jawa
Barat, Hari Sabtu, 24 Juli 2004.[6]
2.
Pendidikan
dan Pekerjaan
Munawir
Sjadzali belajar di Sekolah Desa Tiga Tahun sampai kelas III, tidak berijazah
dan tidak termasuk murid yang rajin. Munawir Sjadzali mengatakan “Memang, waktu
itu rasanya saya sangat kurang semangat belajar dan sering membolos. Hal itu
mungkin sekali disebabkan kemelaratan dan kemiskinan, ditambah barangkali oleh
hubungan antara dua orangtua saya yang tidak selalu serasi dan acapkali
digoncang oleh percekcokan”.[7] Munawir Sjadzali juga
mengikuti pendidikan sore di Madrasah sore dan berhasil menyelesaikan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah Lima Tahun
dengan cukup baik. Ia kemudian melanjutkan di Madrasah Tsanawiyah Al- Islam di
bawah asuhan Kyai Ghazali, seorang ulama terkenal waktu itu dan merupakan
sahabat senior ayahnya.[8] [9] Ia hanya belajar di
Al-Islam satu tahun dan diterima di Mambaul Ulum kelas sore, pada saat itu
diterima di kelas VII sore[10] dan di kelas itu beliau
bertemu dengan anak-anak yang pagi hari belajar di sekolah-sekolah umum di
antaranya pemuda Ahmad Baiquni yang kemudian menjadi ahli atom pertama
Indonesia. Tahun berikutnya Munawir Sjadzali diterima di kelas VIII pagi.
Beliau dapat menyelesaikan pendidikan di sekolah Mambaul Ulum itu sampai kelas
XI berijazah pada bulan April 1943[11] dan Sekolah Tinggi Islam
Mambaul Ulum di Solo.[12]
Munawir
Sjadzali awalnya mempunyai cita-cita untuk melanjutkan sekolah di Universitas
Al-Azhar, Cairo, Mesir. Akan tetapi tidak kesampaian karena ayahnya tidak mampu
membiayai. Batal kuliah di Al-Azhar, ia lantas mengajar di SD Islam Gunungjati,
Ungaran, Semarang tahun 1944-1945.[13] Ketika pecah Revolusi
kemerdekaan, ia ikut bergabung dalam perjuangan kemerdekaan sebagai perwira
penghubung antara Markas Pertempuran Jawa Tengah di Salatiga dan Badan
Kelaskaran Islam.[14]
Sehabis
revolusi kemerdekaan, ia pindah ke Jakarta. Pada saat itu ia rajin pergi ke
perpustakaan, kemudian pada tahun 1950 ia menulis buku berjudul “Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan
Islam?”. Buku ini mendapat perhatian publik dan kemudian dibaca Bung
Hatta. Buku pertamanya dinilai Bung
Hatta perlu dikembangkan kualitasnya karena tidak klise. Buku ini pula membuat
Bung Hatta tertarik pada Munawir muda ini. Lalu memfasilitasinya memperoleh
pekerjaan sebagai staf Seksi Arab/ Timur Tengah Deplu. Di Departemen ini,
harapannya untuk belajar di luar negeri terkabul meskipun tidak di Universitas
Al-Azhar, tetapi di University of Exeter, Inggris. Di Inggris, Munawir
mengambil kursus diplomatik dan konsuler serta mendalami ilmu politik dan
hubungan internasional.[15]
Kemudian
Munawir menjadi Atase/ Sekretaris III Kedutaan Besar RI di Washington, AS
(1956-1959). Pada masa ini, ia menyempatkan diri melanjutkan studi di
Georgetown University Amerika Serikat hingga memperoleh ijazah Master of Art
bidang Filsafat Politik dengan tesis Indonesia’s
Moslem Parties and Their Political Concepts (1959). Kemudian ia menjabat
dan Kepala Bagian Amerika Utara, Deplu (1959-1963).[16]
Setelah
meraih gelar master, ia dipercaya menjabat Setiausaha Pertama di Kedutaan Besar
Republik Indonesia di Colombo, Sri Lanka (1965). Lalu menjabat Kuasa Usaha di
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Sri Lanka (1965-1968). Kemudian kembali
lagi ke Jakarta menjabat Kepala Biro, Tata Usaha Sekretariat Jenderal, Deplu
(1969-1970). Lalu bertugas di Kedutaan Besar Republik Indonesia di London
(1971-1974), sebelum diangkat menjadi Kepala Biro Umum, Deplu (1975-1976). Setelah itu diangkat menjabat Duta Besar di
Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Qatar (1976-1980), sebelum ditarik kembali ke
Jakarta menjabat Direktur Jenderal Politik Deplu (1980-1983). Kemudian diangkat
menjabat sebagai Menteri Agama RI (1983-1993). Selepas itu, ia pun mengakhiri
karir dan pengabdiaanya pada negara sebagai Ketua Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia dan anggota Dewan Pertimbangan Agung (1993-1998).[17]
Pada
tahun 1994, Munawir Sjadzali mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu
Agama Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Munawir Sjadzali pernah
menjadi anggota dari Associate Member International Institute of Islamic
Studies McGill University, Canada pada bulan Maret-Mei tahun 1994. Menjadi
Lektor Tamu pada Universitas Leiden, Belanda bulan April tahun 1995 serta
menjadi anggota tim penasehat Yayasan Wakaf
Paramadina.[18]
3.
Pengalaman
Hidup (Dari Lembah Kemiskinan)
Beliau
mengatakan bahwa “Pada waktu itu para
santri yang satu pondok dengan saya rata-rata mendapatkan bekal dari orang-tua
masing-masing sekitar 5 gulden setiap bulannya. Orangtua saya menyanggupi
membekali saya setiap bulannya dengan sepuluh kilogram beras, 1 gulden uang
saku/ lauk pauk, dan uang pembayaran sekolah. Saya akan cukup bergembira kalau
apa yang dijanjikan ayah itu terpenuhi dengan teratur. Tetapi lebih sering
tidak demikian. Tidak jarang saya terlambat menerima kiriman berminggu-minggu,
dan kalau kemudian kiriman datang jumhlanya tidak penuh. Selama sekitar tujuh
tahun saya belajar di Sala tidak jarang saya menunggak tidak membayar sekolah
sampai berbulan-bulan”[19]
Beliau
juga mengatakan “Selama belajar di Sala,
saya termasuk murid yang paling serba kekurangan dank arena tidak mempunyai
sepeda maka kegiatan saya sangat terbatas. Kawan-kawan yang mempunyai kereta
angina dan uang saku yang tebal sempat beramai-ramai menambah pengetahuan
dengan mengambil tutorial dari sejumlah guru di luar jam sekolah. Itulah
barangkali yang menyebabkan saya, seperti yang dikatakan oleh seorang teman
yang pernah satu kelas dengan saya dahulu, biasa-biasa saja”.[20]
“Salah satu hal yang kiranya patut saya
kemukakan di sini ialah, sewaktu saya berusia enam belas tahun penderitaan saya
betul-betul mencapai puncaknya. Lama tidak menerima kiriman bekal dari
orangtua, berbulan-bulan tidak dapat membayar uang sekolah, dan hutang sudah
menumpuk. Dalam suasana yang demikian gelap itu pada suatu malam saya shalat
Tahajjud. di tengah malam yang sepi dan sunyi itu saya menangis di hadapan
Al-Khaliq dan meluncurlah permohonanku, "ya Allah, berikanlah kepada
hambamu ini kekuataan dan ketabahan dalam menanggung penderitaan ini. saya
memohon, hendaknya saya sajalah yang memikul beban yang seberat ini. jauhkanlah
anak-anak dan keturunanku dari kemelaratan".[21]
Beliau
mengungkapkan "doa itu dikemudian
hari sangat mempengaruhi sikap hidupku dan hubunganku dengan anak-anakku.
Pertama, saya menjadi sangat takut terhadap kemiskinan, sehingga saya sangat
hati-hati dalam hidup, terutama dalam pengelolaan keuangan keluarga. Kedua,
saya cenderung memanjakan anak-anakku..."[22]
Belum lagi penghinaan dari keluarganya karena kemiskinannya. sewaktu beliau
kecil, ayahnya tidak mampu menyelenggarakan khitanannya. khitanannya dititipkan
dengan khitanan saudara-saudara sepupunya, pada saat itu Munawir kecil lagi tak
mempunyai nafsu makan, pada malam hari seusai khitanan, pamannya mengatakan
dengan nada melecehkan "Ayo Wir
makan, mumpung ada makanan enak. ayahmu tidak akan dapat membikin pesta seperti
ini".[23]
Beliau
mengatakan “Pengaruh dari semua itu pada
sikap hidup saya adalah, Pertama, persamaan darah dan keturunan tidak lagi
merupakan pengikat utama bagi saya. Inilah barangkali yang menyelamatkan saya
dari nepotisme Kedua, saya menjadi
sangat peka dan mudah ikut tersinggung terhadap penghinaan, sikap tidak adil
dan pelecehan terhadap orang-orang kecil dan miskin. Kecil dan miskin itu sudah
merupakan beban yang berat. Jiwaku ikut berontak kalau ada orang yang lebih
beruntung menambah beban yang sudah berat itu dengan penghinaan dan kedzaliman”.[24]
Beliau mengatakan bahwa kehidupan yang penuh penderitaan itu mengajarkannya
untuk tetap berkepribadian meski dalam kemelaratan.
B.
Pemikiran
Munawir Sjadzali tentang Pembagian Harta Warisan Anak Laki-Laki dan Perempuan
Beliau
mengatakan bahwa dalam pembagian warisan anak laki-laki mendapatkan dua kali
lebih banyak dari anak perempuan itu tidak lagi mencerminkan semangat keadilan
untuk masyarakat kita sekarang ini, dapat dilihat antara lain dari banyaknya
penyimpangan dari ketentuan tersebut, tidak saja oleh anggota masyarakat Islam
yang awam dalam ilmu agama, tetapi juga oleh banyak ulama. Seraya tidak
melaksanakan Hukum Faraidl Islam, tetapi tidak hendak dikatakan melanggar
ajaran Islam tersebut, banyak ulama melakukan hailah. Mumpung masih hidup mereka membagi kekayaan kepada
putra-putrinya sebagai hibah, masing-masing
mendapat bagian sama besar tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Satu
hal yang tampaknya kurang disadari oleh para ulama tersebut adalah: dengan
membagi kekayaan kepada putra-putri mereka semasa mereka masih hidup itu secara
tidak langsung mereka tidak percaya lagi kepada keadilan hukum Faraidl Islam.
Sebab kalau mereka percaya mereka tidak akan mengambil tindakan pre-emptive itu. Dari segi akidah dan
iman, sikap seperti itu merupakan masalah serius dan berbahaya. Juga terkesan
sangat janggal bahwa dalam negara yang undang-undang dasar dan sistem
perundangan-undangannya mengakui persamaan antara pria dan wanita, dan dimana peranan
kaum wanita hampir setingkat dengan pria sebagai pencari nafkah untuk keluarga,
dalam pembagian warisan justru dibedakan: anak perempuan hanya mendapatkan
separuh dari yang diterima oleh laki-laki.[25]
Menarik
bahwa di antara alim ulama yang menyetujui gagasan pemberian hak yang sama
besar antara anak laki-laki dan anak perempuan adalah KH. Ali Darokah, Ketua
Majelis Ulama Sukarta. Di masyarakat Sukarta, khususnya di kalangan pengusaha
batik, tulang punggung perusahaan keluarga adalah istri, mulai dari pembelian
kain putih dan lilin, pengawasan proses produksi, sampai pemasaran produksi.
Peranan suami hanyalah sebagai pembantu utama, penulis, penagih utang dan
pengantar anak sekolah. Dalam masyarakata dengan budaya seperti itu, tidaklah
adil kalau anak pria mendapatkan pembagian warisan dua kali lebih banyak dari
saudara perempuannya.[26]
Munawir
Sjadzali mengatakan ketentuan dalam hukum Waris Islam, sebagaimana tercantum
dalam Al-Qur’an, bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali lebih besar dari
yang diterima oleh anak perempuan, Al-Maula memberikan alasan: karena pada
waktu kawin nanti anak laki-laki harus membayar mahar atau mas kawin dan harus
memberi nafkah kepada Istri serta menyediakan perumahan lengkap dengan
perabotannya. Sebaliknya anak perempuan (kalau nanti kawin) akan menerima mahar
atau mas kawin dan nafkah serta perumahan dari suaminya. Meskipun anak
laki-laki menerima bagian lebih besar dari anak perempuan tetapi bagian yang
dia terima itu akan banyak dikurangi karena dia harus membayar mahar atau mas
kawin, memberikan nafkah dan tempat tinggal kepada istrinya. Sedangkan bagian
yang lebih kecil yang diterima oleh anak perempuan itu akan tetap utuh dan
kalau dia kawin bahkan akan bertambah karena dia akan menerima mahar, nafkah
dan perumahan dari suaminya.[27]
Munawir
Sjadzali menjelaskan alasan yang dipaparkan Al-Maula tersebut mungkin bisa kita
terima. Tetapi bagaimana halnya kalau budaya masyarakat tidak lagi demikian.
Misalnya, dalam masyarakat Islam Indonesia sekarang ini mahar atau mas kawin
itu tinggal merupakan formalitas saja. Bentuknya tidak lagi berupa uang tunai
atau benda berharga tetapi hanya seperangkat alat shalat, yang sama sekali
tidak mahal. Selain itu, suami dan istri sama-sama mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga: pangan, sandang, dan papan. Dengan demikian
maka hubungan antara yang memberi dan yang menerima, melainkan hubungan antara
dua anak manusia yang sepakat untuk hidup bersama dan membina keluarga atas
dasar gotong royong, masing-masing bekerja mencari nafkah untuk tegaknya rumah
tangga.[28]
Dalam keluarga seperti itu, alasan yang dikemukakan bahwa di anak benua India,
Pakistan dan India serta Sri Lanka justru yang harus membayar mahar atau dowry adalah perempuan, dan jauh lebih
besar dari mahar yang lazim diberikan oleh laki-laki kepada perempuan di dunia
Arab. Adat istiadat wanita “membeli” pria di kawasan anak benua India itu
terdapat di semua kelompok agama, termasuk umat Islam.[29]
Di
bagian lain telah dikemukakan bahwa terdapat cukup banyak ulama Indonesia yang
enggan mengikuti hukum waris Islam, tetapi juga tidak mau dikatakan melanggar Faraidl. Mereka mencari jalan keluar
dengan membagikan kekayaan kepada anak-anak mereka dengan bagian sama besar
antara anak laki-laki dan perempuan semasa mereka masih hidup sebagai hibbah. Sementara itu, mereka melupakan
implikasinya yang cukup gawat bahwa dengan menempuh cara tersebut secara tidak
langsung mereka mengakui bahwa huku waris Islam tidak sesuai lagi dengan
semangat keadilan, jika diterapkan pada masyarakat kita sekarang. Tegasnya,
menghindar secara tidak jantan dari hukum waris Islam.[30]
Munawir
menyatakan bahwa kalau penafsiran Al-Qur’an itu dilakukan secara menyeluruh,
artinya dalam mengartikan suatu ayat harus dikaitkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an
yang lain, kiranya masalah itu dapat diatasi. Misalnya, dalam memahami surah
An-Nisa ayat 176, yang menyatakan bahwa anak laki-laki mendapatkan bagian dua
kali lebih besar dari yang diterima oleh anak perempuan, itu dikaitkan dengan
surat An-Nahl ayat 90 yang berbunyi:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan…”
Munawir menyatakan bahwa kita diharapkan agar memanfaatkan akal atau nalar kita
untuk menilai apakah suatu ketentuan hukum itu sesuai dengan semangat keadilan
di tengah masyarakat di mana hukum itu akan diberlakukan.[31]
C.
Kritik Pemikiran
Munawir Sjadzali Pembagian Harta Warisan antara Anak Laki-Laki dan Perempuan
Jika
kita melihat kehidupan masa lalu Munawir Sjadzali yang miskin, serba
kekurangan, hampir putus sekolah karena tidak sanggup membiayai sekolahnya
dan banyaknya hutang begitu mempengaruhi kehidupannya. Pengaruh ini membuat
Munawir trauma atau takut dengan kemiskinan sebagaimana ia menceritakan dalam
buku “Kontekstualisasi Ajaran Islam 70
Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadali”, ia bertutur:
"Pada suatu malam saya shalat Tahajjud. di
tengah malam yang sepi dan sunyi itu saya menangis di hadapan Al-Khaliq dan
meluncurlah permohonanku, "ya Allah, berikanlah kepada hambamu ini
kekuataan dan ketabahan dalam menanggung penderitaan ini. saya memohon,
hendaknya saya sajalah yang memikul beban yang seberat ini. jauhkanlah
anak-anak dan keturunanku dari kemelaratan."
Beliau mengungkapkan
"doa itu dikemudian hari sangat
mempengaruhi sikap hidupku dan hubunganku dengan anak-anakku. Pertama, saya
menjadi sangat takut terhadap
kemiskinan, sehingga saya sangat hati-hati dalam hidup, terutama dalam
pengelolaan keuangan keluarga. Kedua, saya cenderung memanjakan anak-anakku..."
Belum lagi
penghinaan dari keluarganya karena kemiskinannya. sewaktu beliau kecil, ayahnya
tidak mampu menyelenggarakan khitanannya. khitanannya dititipkan dengan
khitanan saudara-saudara sepupunya, pada saat itu Munawir kecil lagi tak
mempunyai nafsu makan, pada malam hari seusai khitanan, pamannya mengatakan
dengan nada melecehkan "Ayo Wir
makan, mumpung ada makanan enak. ayahmu tidak akan dapat membikin pesta seperti
ini".
Beliau
mengatakan pengaruh dari semua itu pada sikap hidup saya adalah, Pertama,
persamaan darah dan keturunan tidak lagi merupakan pengikat utama bagi saya.
Kedua, saya menjadi sangat peka dan mudah ikut tersinggung terhadap penghinaan,
sikap tidak adil dan pelecehan
terhadap orang-orang kecil dan miskin.[32]
Boleh
jadi trauma di masa kecilnya, yang hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan melatar
belakangi lahirnya “ijtihad” Munawir Sjadzali dalam memahami surah An-Nisa ayat
11:
يُوصِيكُمُ
ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ فَإِن كُنَّ
نِسَآءٗ فَوۡقَ ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۖ وَإِن كَانَتۡ
وَٰحِدَةٗ فَلَهَا ٱلنِّصۡفُۚ...
11.
Allah mensyari´atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bagahian dua orang anak perempuan; …
Keluar
daripada ijma ulama. Munawir memahami ayat ini, ayat tentang pembagian harta
warisan anak laki-laki dan perempuan yang Allah tetapkan secara jelas dan
terperinci (tidak seperti syariat-syariat yang lain) tidaklah adil untuk
masyarakat sekarang ini.
Sebagaimana
yang ia ungkapkan dalam bukunya Ijtihad
Kemanusian "Pembagian warisan
anak laki-laki mendapatkan dua kali lebih banyak dari anak perempuan itu tidak
lagi mencerminkan semangat keadilan untuk masyarakat kita sekarang ini...."[33]
Maka kami katakan hal ini tentu sama
saja meragukan keadilan Allah yang Maha Adil dan menganggap Allah tidak adil
dalam menetapkan ketetapan bagian-bagian harta warisan yang sudah jelas dan
terperinci. Di akhir ayat 11 Allah swt berfirman:
... Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh,
Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. (Q.S. An-Nisa: 11)
Hamka
menafsirkan ini adalah ketetapan Allah
yaitu ketentuan yang tidak boleh diubah-ubah lagi. Siapa yang melanggar akan
ditimpa dosa yang besar dan dia sudah menjadi hukum Allah yang dirumuskan di
dalam undang-undang suatu negara yang penduduknya lebih banyak beragama Islam,
sebagai negara kita ini bahwa, “Hukum faraidl berlaku di Indonesia bagi
pemeluk-pemeluk agama Islam.” Sehingga barang siapa yang melanggar dapat
dikenakan sanksi (pandahan) hukum.
Ibnu
Katsir menafsirkan ayat ini ini adalah
ketetapan Allah maksudnya ketetapan yang telah Allah sebutkan menyangkut
rincian bagian warisan dan memberikan kepada sebagian ahli waris bagian yang
lebih banyak daripada yang lainnya. Hal tersebut merupakan ketentuan Allah dan
keputusan yang telah ditetapkanNya. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,
Dia tidak akan meletakkan segala sesuatu yang bukan pada tempatnya dan Dia
pasti memberi setiap orang hak yang layak, diterima sesuai dengan keadaannya.[34]
Karena itulah Allah swt berfirman:
“ Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha
Bijaksana” (Q.S An-Nisa: 11)
Dalam
hal ini Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menafsirkan surah An-Nisa ayat 11
mengatakan bahwa:
"Bagian laki-laki ialah dua kali bagian
perempuan. dengan melengahkan bahwa aturan Islam menentukan perempuan dapat
bagian, ada orang yang tidak menyenangi Islam mengemukakan bantahannya,
"mengapa laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan, mengapa tidak
disamakan saja?" kalau orang berpikir secara objektif, kita tanyai,
"mengapa di dalam beberapa bangsa di Eropa-Kristen, sampai zaman sekarang
ini perempuan tidak berhak atas waris?" Niscaya mereka akui bahwa tanggung
jawab laki-laki dalam negara yang semodern-modernnya sekalipun, lebih berat
daripada tanggung jawab perempuan."[35]
Buya
Hamka melanjutkan "Islam mengakui
bahwa dalam pergaulan hidup manusia di dunia, dimana saja, tanggung jawab
laki-laki dalam harta benda jauh lebih berat daripada tanggung jawab perempuan.
meskipun pada zaman modern ini hak-hak perempuan sudah diberikan lebih maju
daripada zaman purbakala, tetapi persediaan ruhani jasmani untuk menghasilkan
harta tidak juga sama dengan laki-laki. meskipun tidak sama, Islam telah
menentukan bahwa perempuan pun mendapat hak sepadan dengan keadaan tenaganya.
seorang perempuan di segala zaman tidaklah terlepas dari tanggung jawab dan
perlindungan laki-laki...."[36]
Ibnu
Katsir mengatakan Allah menjadikan bagian
anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, dikarenakan seorang
lelaki dituntut kewajiban memberi nafkah dan beban biaya lainnya. Jerih payah dalam
berniaga dan berusaha serta menanggung semua hal yang berat. Maka sangatlah
sesuai bila ia diberi dua kali lipat dari apa yang diterima oleh perempuan.
Ibnu Katsir melanjutkan seorang ulama
yang cerdik menyimpulkan dari firmanNya: “Allah mensyari´atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bagahian dua orang anak perempuan” bahwa Allah swt lebih kasih saying
kepada makhlukNya daripada seorang ibu kepada anaknya, karena Allah telah
mewasiatkan kepada kedua orang tua terhadap anak-anak mereka, maka diketahuilah
bahwa Dia lebih saying kepada mereka daripada orang-orang tua mereka sendiri.[37]
Sedangkan Sayyid Qutb dalam fi Zhilalil
Qurannya mengatakan bahwa orang yang mengataka bahwa “Sesungguhnya kami memilih
untuk diri kami sendiri dan kami lebih mengetahui apa yang baik bagi kami”
Ucapan seperti ini kata Sayyid Qutb disamping lebih dari bathil, pada waktu
yang sama adalah menjelekkan, mencela, menyombongkan dari, sok lebih tahu
terhadap Allah dan suatu anggapan yang tidak akan beranggapan demikian kecuali
orang yang tak tahu malu lagi amat bodoh.[38]
Sayyid Qutb menjelaskan tentang ayat “… bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan…”:
Adalah sebagai
berikut, "Ketentuan pembagian ini
bukan berarti sikap pilih kasih berdasarkan jenis kelamin. akan tetapi,
ketentuan ini justru menunjukkan keseimbangan dan keadilan, karena berbedanya
tanggung jawab antara lelaki dan wanita dalam kehidupan keluarga dan sistem
sosial Islam. pasalnya, seorang lelaki menikah dengan seorang wanita dan diberi
beban tanggung jawab mengenai kehidupan keluarga dan anak-anaknya dalam semua
hal, sementara istri hanya menyertainya saja, dan terlepas dari beban tanggung
jawab itu. wanita hanya mengurusi dirinya saja, bahkan boleh jadi si lelaki
sudah mengurusinya sebelum dan sesudah menikahinya. si wanita tidak dibebani
tanggung jawab mencari nafkah untuk suami dan anak-anaknya sama sekali. maka
seorang lelaki minimal, diberi tugas lebih banyak dari wanita di dalam
kehidupan berkeluarga dan dalam kehidupan sosial Islam."[39]
"Oleh karena itu, tampaklah keadilan dan keserasian antara beban tanggung
jawabnya dan perolehannya dalam pembagian kewarisan yang bijaksana ini. tampak
pula kejahilan orang yang mencela pembagian ini dari satu segi dan
ketidaksopanannya terhadap Allah dari segi lain".[40]
Perkataan Munawir
Sjadzali dalam “Ijtihad Kemanusian”
“…Dapat
dilihat antara lain dari banyaknya penyimpangan dari ketentuan tersebut, tidak
saja oleh anggota masyarakat Islam yang awam dalam ilmu agama, tetapi juga oleh
banyak ulama. Seraya tidak melaksanakan Hukum Faraidl Islam, tetapi tidak
hendak dikatakan melanggar ajaran Islam tersebut, banyak ulama melakukan
hailah. Mumpung masih hidup mereka membagi kekayaan kepada putra-putrinya
sebagai hibah, masing-masing mendapat bagian sama besar tanpa diskriminasi
berdasarkan jenis kelamin. Satu hal yang tampaknya kurang disadari oleh para
ulama tersebut adalah: dengan membagi kekayaan kepada putra-putri mereka semasa
mereka masih hidup itu secara tidak langsung mereka tidak percaya lagi kepada keadilan hukum Faraidl Islam…”
Dari
pernyataan di atas Munawir menuduh ulama tidak percaya lagi kepada keadilan
hukum Faraidl Islam, Padahal Munawir sendirilah yang tidak percaya dengan keadilan
hukum Faraidl Islam dengan mengatakan
bahwa pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan tidak adil untuk
saat ini. Adapun ulama yang membagi hartanya sama rata kepada anak-anaknya
sebagai tidaklah mengapa. Walaupun demikian ulama tidak pernah merubah
bagian-bagian yang ditetapkan Allah ketika pembagian itu bukan lagi hibah dalam
arti lain adalah warisan.
Perkataan
Munawir Sjadzali Tetapi bagaimana halnya
kalau budaya masyarakat tidak lagi demikian. Misalnya, dalam masyarakat Islam
Indonesia sekarang ini mahar atau mas kawin itu tinggal merupakan formalitas
saja. Bentuknya tidak lagi berupa uang tunai atau benda berharga tetapi hanya
seperangkat alat shalat, yang sama sekali tidak mahal. Selain itu, suami dan
istri sama-sama mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga: pangan,
sandang, dan papan. Dengan demikian maka hubungan antara yang memberi dan yang
menerima, melainkan hubungan antara dua anak manusia yang sepakat untuk hidup
bersama dan membina keluarga atas dasar gotong royong, masing-masing bekerja
mencari nafkah untuk tegaknya rumah tangga.[41]
Maka kami katakan bahwa:
1. Harusnya
bukan syariat yang mengikuti adat istiadat sehingga syariat yang sempurna ini perlu
direvisi, tapi adat yang bertentangan dengan syariat itulah yang perlu
diluruskan agar sejalan dengan syariat.
2. Walaupun
perempuan ikut serta dalam mencari nafkah akan tetapi ini bukan merupakan
sebuah kewajiban bagi perempuan. Tetap kewajiban mencari nafkah adalah dari
laki-laki. Jika logika Munawir Sjadzali ini
dipakai, maka sesungguhnya tidaklah mengapa laki-laki yang mendapat dua
bagian (setelah dibagi harta warisan
itu) memberikan sebagian hartanya kepada saudara perempuannya dalam rangka
membantu kehidupan saudaranya. Tapi yang perlu diingat hal ini tidak merubah
hukum dari ketetapan bagian-bagian dalam pembagian harta warisan yang tidak
boleh ditambah atau dikurangi.
Sebagaimana
Ahmad Zain Najah menjelaskan dalam makalahnya[42] bahwa alasan orang yang menolak Ayat tentang
pembagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan diantaranya adalah Thohir
al Haddad, dan DR. Nasr Abu Zaid, kemudian diikuti oleh Munawir Sjadzali, bahwa
ayat ini tidak berlaku untuk masa kini dengan alasan bahwa keadaan berbeda,
bahkan mungkin sebagian orang dengan rasa bangga menggunakan kaidah di dalam
fikih “taghoyurul ahkam bi taghoyuri
zaman wal makan “ (Suatu hukum bisa berubah jika keadaan dan waktunya berubah
juga). Mereka mengatakan, bahwa perempuan hari ini telah ikut
berpartisipasi bersama laki- laki di dalam menjalani kehidupan ini
dalam segala aspeknya: Ekonomi, Budaya, Pendidikan, dan Politik. Perempuan
hari ini bekerja mencari nafkah, sebagaimana laki-laki, bahkan di sebagian
daerah, menurut Munawir Sjadzali, seperti Solo, perempuanlah yang berkeja
mencari nafkah, sedangkan laki- lakinya hanya di rumah, memelihara burung.[43]
Kemudian
Ahmad Zain Najah menjelaskan oleh
karenanya, menurut pendapatnya, pembagian jatah warisan dengan membedakan
antara perempuan dengan laki- laki adalah tidak adil dan mendiskriminasikan
perempuan dan ajaran Islam sendiri pada dasarnya tidaklah menutup untuk adanya
kesetaraan gender secara sempurna antara laki- laki dan perempuan,
termasuk di dalamnya dalam menerima jatah warisan, jika memang terwujud
didalamnya masalahat dan keadilan. Menurutnya, bahwa apa yang telah di
tetapkan Rasulullah saw, bukanlah segala- galanya yang tidak ada perubahan
setelahnya.[44]
Ahmad Zain membantah alasan-alasan tersebut Apa yang diungkapkan di atas hanyalah sekedar lamunan dan ucapan yang
berdasarkan pandangan yang sekilas, parsial dan picik. Allah swt sendiri pada
akhir ayat warisan telah menyebutkan dengan tegas bahwa jatah warisan yang
telah di tentukan tersebut merupakan batasan yang sakral dan tidak boleh dirubah- rubah atau di langgar
seraya menyebutkan ancaman yang sangar
bagi siapa yang berusaha melanggarnya.[45]
Allah berfirman:
“(hukum- hukum) tersebut adalah ketentuan- ketentuan dari Allah, barang
siapa yang mentaati Allah dan rosul-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam
surga–surga yang mengalir sungai- sungai dari bawahnya. Itulah kemenangan yang
besar. Dan barangsiapa yang durhaka
kepada Allah dan rosulNya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya,
niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam neraka, dia kekal di dalamnya dan
mendapatkan adzab yang pedih“ ( Q.S. An Nisa’ : 13-14 )
Ahmad Zain melanjutkan Adapun
kaidah fikih yang meyebutkan “perubahan
hukum, mengikuti perubahan waktu dan keadaan“ itu hanya berlaku pada hukum- hukum ijitihadiyah, atau hukum
–hukum yang di tetapkan berdasarkan maslahat sementara atau keadaan sementara,
seperti hukum ta’zir dengan mencambuk peminum khomr 80 kali cambukan, sistem
dan metode pendidikan, administrais negara dan lain- lainnya . Adapun hukum-
hukum yang telah di tetapkan oleh Syariat batasannya, seperti hukum warisan
ini, maka kaidah tersebut tidak bisa dipakai.[46]
Ahmad Zain Najah juga dalam makalahnya menjelaskan bahwa pembagian harta
warisan ini kalau diteliti secara seksama ternyata menguntungkan perempuan.
Bagi anak perempuan harta yang ia dapat dari harta warisan akan bertambah tidak
berkurang karena ketika dia menikah dia akan mendapatkan mahar dari suaminya
dan akan bertambah pula, jika uang tersebut dikembangkan dalam bentuk
perniagaan. Bahkan harta itu tidak berkurang, karena semua kebutuhannya
ditanggung oleh suaminya ketika sudah menikah. Adapun bagi anak laki-laki, maka
hartanya akan berkurang pertama kalinya, ketika dia menikah untuk keperluan
mahar, perabotan rumah tangga, dan keperluan hidup sehari-hari. Dari perbandingan
tersebut akan terlihat jelas, bahwa sebenarnya yang di untungkan adalah pihak
perempuan, yang tidak mempunyai tanggungan apa- apa, tapi dalam satu waktu
mendapatkan jatah setengah dari jatah laki- laki.[47]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pandangan Munawir Sjadzali mengenai pembagian warisan
antara anak laki-laki dan anak perempuan dengan perbandingan 2:1 tidaklah adil
untuk saat ini. Munawir beralasan bahwa sekarang perempuan juga berperan dalam
mencari nafkah sehingga merasa pantas untuk mendapatkan jatah yang sama dengan
laki-laki.
2.
Adapun para ulama sepakat bahwa pembagian warisan
antara anak laki-laki dan anak perempuan dengan perbandingan 2:1 adalah adil.
Karena Allah yang Maha Adil yang secara membagi (menetapkan) sebagaimana yang
ada di dalam Al-Qur’an. Anggapan bahwa itu tidaklah adil tidaklah benar, karena
laki-laki mempunyai tanggung jawab yang besar dari pada perempuan sehingga
pantas untuk mendapatkan 2 kali dari perempuan. Jika lihat dengan cermat sebenarnya perempuan
diuntungkan dengan pembagian ini karena harta yang didapatkan perempuan terus
bertambah dan tidak berkurang sebab ketika menikah ia mendapatkan mahar,
nafkah, dan menjadi tanggung jawab laki-laki. Sedangkan laki-laki ketika
menikah hartanya terus berkurang karena membayar mahar, menafkahi anak dan
istri dan bertanggung jawab atas keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA
Media Cetak
Hamka. 2015. Tafsir
Al-Azhar. Jakarta: Gema Insani.
Handrianto, Budi. 2010. 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia.
Jakarta Timur: Hujjah Press.
Qutb, Sayyid. 2001. Terj: Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Jakarta: Gema
Insani.
Sjadzali,
Munawir. 1994. Bunga Rampai Wawasan Islam
Dewasa Ini. Jakarta: Universitas Indonesia.
Sjadzali, Munawir. 1995. Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof.
Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan),
Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf
Paramadina.
Sjadzali, Munawir. 1997. Ijtihad Kemanusian. Jakarta: PT.
Temprint.
Sulastomo, dkk. 1995. Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA.
Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf
Paramadina.
Media Elektronik
Aplikasi Android. “Quran Tafsir Ibnu Katsir”. kampungsunnah.org
Najah,
Ahmad Zain. 2011. Pembagian Warisan Dalam
Islam Adalah Adil. http://ahmadzain.com/read/tsaqafah/382/pembagian-warisan-dalam-islam-adalah-adil/. diakses tanggal
15 November 2017 pukul 14.06 WIB
[1] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia¸
Jakarta Timur: Hujjah Press, 2010, h.2010, h. 54
[2] Dalam buku Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA
(Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan) Munawir Sjadzali mengatakan kalau
tidak salah nikah sirri pada tanggal 25 Mei 1950 dan acara perkawinan resmi
yang diikuti dengan resepsi berlangsung pada tanggal 11 Oktober 1950.
[3] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof.
Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan),
Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995, h.44
[4] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia¸
Jakarta Timur: Hujjah Press, 2010, h.2010, h. 54
[5] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof.
Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan), Jakarta
Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995.
[6] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia¸
Jakarta Timur: Hujjah Press, 2010, h.2010, h. 54
[7] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof.
Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan),
Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995, h.9
[8] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia¸
Jakarta Timur: Hujjah Press, 2010, h.2010, h.54
[9] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof.
Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan),
Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995, h.10
[10] Di Mambaul Ulum ada kelas pagi dan
kelas sore. Karena terbatasnya daya tamping Mambaul Ulum “ pagi maka dibuka
bagian sore, tetapi baik mata pelajaran maupun guru-gurunya sama dengan bagian
pagi itu”
[11] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof.
Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan),
Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995, h.11
[12] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia¸
Jakarta Timur: Hujjah Press, 2010, h.2010, h. 54
[13] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia¸
Jakarta Timur: Hujjah Press, 2010, h.2010, h. 55
[14] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia¸
Jakarta Timur: Hujjah Press, 2010, h.2010, h. 55
[15] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia¸
Jakarta Timur: Hujjah Press, 2010, h.2010, h. 55
[16] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia¸
Jakarta Timur: Hujjah Press, 2010, h.2010, h. 55
[17] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia¸
Jakarta Timur: Hujjah Press, 2010, h.2010, h. 56
[18] Sulastomo, dkk, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof.
Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji
Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995.
[19] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof.
Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan),
Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995, h.11
[20] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof.
Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan),
Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995, h.11
[21] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof.
Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan),
Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995, h.12
[22] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof.
Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan),
Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995, h.12
[23] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof.
Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan),
Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995, h.13
[24] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof.
Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan),
Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995, h.13
[25] Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusian, Jakarta: PT.
Temprint, 1997, h.7-8
[26] Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusian, Jakarta: PT.
Temprint, 1997, h.8
[27] Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusian, Jakarta: PT.
Temprint, 1997, h.61
[28] Munawir Sjadzali mengambil contoh
bahwa budaya telah berubah dari kehidupan anak-anaknya. “lima dari enam anak
saya suami istri sama-sama bekerja untuk mencukupi segala keperluan rumah
tangga mereka masing-masing.
[29] Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusian, Jakarta: PT.
Temprint, 1997, h.62
[30] Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusian, Jakarta: PT.
Temprint, 1997, h.62
[31] Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusian, Jakarta: PT.
Temprint, 1997, h.62-63
[32] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof.
Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan),
Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995, h.13
[33] Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusian, Jakarta: PT.
Temprint, 1997, h.7
[34]Aplikasi Android “Quran Tafsir Ibnu Katsir”,
kampungsunnah.org
[35] Hamka, Tafsir
Al-Azhar, Jakarta: Gema Insani, 2015, h. 215.
[36] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Gema Insani, 2015, h. 215.
[37]
Aplikasi Android “Quran
Tafsir Ibnu Katsir”,
kampungsunnah.org
[38] Sayyid Qutb, Terj: Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema
Insani, 2001, h. 289
[39] Sayyid Qutb, Terj: Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema
Insani, 2001, h. 290
[40] Sayyid Qutb, Terj: Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema
Insani, 2001, h. 290
[41] Munawir Sjadzali mengambil contoh
bahwa budaya telah berubah dari kehidupan anak-anaknya. “lima dari enam anak
saya suami istri sama-sama bekerja untuk mencukupi segala keperluan rumah
tangga mereka masing-masing. Lihat Ijtihad
Kemanusian hal. 62
[42] Ahmad Zain Najah,
Pembagian Warisan Dalam Islam Adalah Adil,
http://ahmadzain.com/read/tsaqafah/382/pembagian-warisan-dalam-islam-adalah-adil/, 2011, diakses
tanggal 15 November 2017 pukul 14.06 WIB
[43] Ahmad Zain Najah,
Pembagian Warisan Dalam Islam Adalah Adil,
http://ahmadzain.com/read/tsaqafah/382/pembagian-warisan-dalam-islam-adalah-adil/, 2011, diakses
tanggal 15 November 2017 pukul 14.06 WIB
[44] Ahmad Zain Najah, Pembagian Warisan Dalam Islam Adalah Adil,
http://ahmadzain.com/read/tsaqafah/382/pembagian-warisan-dalam-islam-adalah-adil/, 2011, diakses tanggal 15 November
2017 pukul 14.06 WIB
[45] Ahmad Zain Najah, Pembagian Warisan Dalam Islam Adalah Adil,
http://ahmadzain.com/read/tsaqafah/382/pembagian-warisan-dalam-islam-adalah-adil/, 2011, diakses tanggal 15 November
2017 pukul 14.06 WIB
[46] Ahmad Zain Najah, Pembagian Warisan Dalam Islam Adalah Adil,
http://ahmadzain.com/read/tsaqafah/382/pembagian-warisan-dalam-islam-adalah-adil/, 2011, diakses tanggal 15 November
2017 pukul 14.06 WIB
[47] Ahmad Zain Najah, Pembagian Warisan Dalam Islam Adalah Adil,
http://ahmadzain.com/read/tsaqafah/382/pembagian-warisan-dalam-islam-adalah-adil/, 2011, diakses tanggal 15 November
2017 pukul 14.06 WIB
Comments
Post a Comment