Kritik Pemikiran Munawir Sjadzali 
Tentang 
Pembagian Harta Warisan
 Antara Anak Laki-Laki dan Perempuan

Oleh Aco Wahab, S.Si, S.H.I

BAB I
PENDAHULUAN

A.   A. Latar Belakang
Setiap manusia pasti akan merasakan mati dan meninggalkan seluruh apa yang dimilikinya di dunia seperti orang tua, anak, istri, maupun harta. Kematian tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi diri mayyit yang berhubungan dengan pengurusan jenazahnya. Dengan kematian itu timbul pula akibat hukum lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya. Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimana cara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarga (ahli waris), yang dikenal dengan nama Hukum Waris. Di Indonesia sendiri ada 3 hukum waris yang digunakan yaitu hukum waris Islam, hukum waris adat, hukum waris perdata.
Penerapan pembagian warisan di Indonesia yang sesuai dengan apa yang ditetapkan Allah dalam Al-Quran saat ini terlupakan bahkan terabaikan. Entah karena sedikitnya orang yang menguasai ilmu faraaidhl atau karena ketidaktahuan sebagian besar muslim di Indonesia tentang kewajiban membagi harta waris berdasarkan syariat. Masyarakat saat ini cenderung membagi harta waris menggunakan aturan/ kaidah adat daerahnya masing-masing ataupun hukum perdata walaupun seyogyanya mereka adalah muslim.
Sedikitnya perhatian kaum muslimin dalam ilmu faraaidhl menyebabkan ilmu faraaidhl menjadi terlupakan. Ditambah lagi adanya orang-orang yang berupaya menafsirkan secara bebas ayat-ayat faraaidhl berdasarkan ra’yu dan hawa nafsunya kian menambah masalah. Diantaranya pemikiran tokoh liberal dari Suriah Muhammad Syahrur tentang teori Nadzriat Al-Hudud (Teori Limit) dalam Al-Kitab wa Al-Quran: Qiraah Mu’ashirah dan Nahwu Ushul Jadidah Li Al-Fiqh Al-Islami.  Termasuk juga tokoh dari dalam negeri sendiri seperti Munawir Sjadzali yang menganggap pembagian waris antara laki-laki dan perempuan dalam Islam dinilai tidak adil. Sebagaiman pernyataannya dalam buku Ijtihad Kemanusian “Pembagian warisan anak laki-laki mendapatkan dua kali lebih banyak dari anak perempuan itu tidak lagi mencerminkan semangat keadilan untuk masyarakat kita sekarang ini....”. Oleh sebab itu dalam makalah ini akan membantah pemikiran Munawir Sjadzali mengenai pembagian harta warisan anak laki-laki dan perempuan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pemikiran Munawir Sjadzali tentang pembagian harta warisan antara anak laki-laki dan perempuan?
2.     Apa kritik pemikiran Munawir Sjadzali tentang pembagian harta warisan antara anak laki-laki dan perempuan?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Munawir Sjadzali
1.      Riwayat Hidup
Munawir Sjadzali lahir tanggal 7 November 1925, di Desa Karanganom, Klaten. Buah hati dari Abu Aswad Hasan Sjadzali bin Tohari (yang lebih dikenal dengan KH. Mughofir) dan Byai Tas’iyah. Anak tertua dari delapan orang bersaudara, Masa kecil dilalui di desa kelahirannya Karanganom, Klaten, Jawa Tengah dalam keluarga sederhana dan taat  beragama. Dimana Ayah dan ibunya juga mendidiknya dengan ilmu agama.[1] Pada tahun 1950[2] Munawir Sjadzali menikah dengan Murni yang merupakan putri Tas Sekti.[3] Beliau dikarunia enam orang anak, yaitu Muclis, Mustahdiyati, Mustain, Muhtadi, Mutiawati dan Muflihatun, serta 14 cucu.[4]
Munawir Sjadzali semasa hidupnya banyak mendapatkan penghargaan. Diantaranya adalah Bintang Mahaputra Adipradana dan Satyalencana Karya Satya Kelas II dari Pemerintah Indonesia, Great Cordon of Merit dari Pemerintah Qatar, Medallion of the Order of Quwait-Special Class dari Kuwait, Heung in Medal-Second Class dari Korea Selatan, Order of  The Yugoslav Flag with Golden Wreath dari Yugoslavia dan Tokoh Maal Hijrah 1415 dari Malaysia.[5]
Adapun beberapa karya tulis Munawir Sjadzali adalah “Ijtihad Dalam Sorotan” yang diterbitkan pada tahun 1990. Kemudian “Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran yang diterbitkan pada tahun 1992. Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini diterbitkan pada tahun 1994, dan Ijtihad Kemanusian yang diterbitkan pada tahun 1997. Serta buku Islam: Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa dan Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam?
Beliau meninggal di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakata, pada hari Jumat 23 Juli 2004 pukul 11.20. Jenazah mantan anggota Dewan Pertimbangan Agung (1993-1998) ini disemayamkan di rumah duka di Jalan Bangka VII No.5-B Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan dimakamkan di tempat pemakaman keluarga Giritama, Bogor, Jawa Barat, Hari Sabtu, 24 Juli 2004.[6]

2.      Pendidikan dan Pekerjaan
Munawir Sjadzali belajar di Sekolah Desa Tiga Tahun sampai kelas III, tidak berijazah dan tidak termasuk murid yang rajin. Munawir Sjadzali mengatakan “Memang, waktu itu rasanya saya sangat kurang semangat belajar dan sering membolos. Hal itu mungkin sekali disebabkan kemelaratan dan kemiskinan, ditambah barangkali oleh hubungan antara dua orangtua saya yang tidak selalu serasi dan acapkali digoncang oleh percekcokan”.[7] Munawir Sjadzali juga mengikuti pendidikan sore di Madrasah sore dan berhasil menyelesaikan  pendidikan Madrasah Ibtidaiyah Lima Tahun dengan cukup baik. Ia kemudian melanjutkan di Madrasah Tsanawiyah Al- Islam di bawah asuhan Kyai Ghazali, seorang ulama terkenal waktu itu dan merupakan sahabat senior ayahnya.[8] [9] Ia hanya belajar di Al-Islam satu tahun dan diterima di Mambaul Ulum kelas sore, pada saat itu diterima di kelas VII sore[10] dan di kelas itu beliau bertemu dengan anak-anak yang pagi hari belajar di sekolah-sekolah umum di antaranya pemuda Ahmad Baiquni yang kemudian menjadi ahli atom pertama Indonesia. Tahun berikutnya Munawir Sjadzali diterima di kelas VIII pagi. Beliau dapat menyelesaikan pendidikan di sekolah Mambaul Ulum itu sampai kelas XI berijazah pada bulan April 1943[11] dan Sekolah Tinggi Islam Mambaul Ulum di Solo.[12]
Munawir Sjadzali awalnya mempunyai cita-cita untuk melanjutkan sekolah di Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir. Akan tetapi tidak kesampaian karena ayahnya tidak mampu membiayai. Batal kuliah di Al-Azhar, ia lantas mengajar di SD Islam Gunungjati, Ungaran, Semarang tahun 1944-1945.[13] Ketika pecah Revolusi kemerdekaan, ia ikut bergabung dalam perjuangan kemerdekaan sebagai perwira penghubung antara Markas Pertempuran Jawa Tengah di Salatiga dan Badan Kelaskaran Islam.[14]
Sehabis revolusi kemerdekaan, ia pindah ke Jakarta. Pada saat itu ia rajin pergi ke perpustakaan, kemudian pada tahun 1950 ia menulis buku berjudul “Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam?”. Buku ini mendapat perhatian publik dan kemudian dibaca Bung Hatta.  Buku pertamanya dinilai Bung Hatta perlu dikembangkan kualitasnya karena tidak klise. Buku ini pula membuat Bung Hatta tertarik pada Munawir muda ini. Lalu memfasilitasinya memperoleh pekerjaan sebagai staf Seksi Arab/ Timur Tengah Deplu. Di Departemen ini, harapannya untuk belajar di luar negeri terkabul meskipun tidak di Universitas Al-Azhar, tetapi di University of Exeter, Inggris. Di Inggris, Munawir mengambil kursus diplomatik dan konsuler serta mendalami ilmu politik dan hubungan internasional.[15]
Kemudian Munawir menjadi Atase/ Sekretaris III Kedutaan Besar RI di Washington, AS (1956-1959). Pada masa ini, ia menyempatkan diri melanjutkan studi di Georgetown University Amerika Serikat hingga memperoleh ijazah Master of Art bidang Filsafat Politik dengan tesis Indonesia’s Moslem Parties and Their Political Concepts (1959). Kemudian ia menjabat dan Kepala Bagian Amerika Utara, Deplu (1959-1963).[16]
Setelah meraih gelar master, ia dipercaya menjabat Setiausaha Pertama di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Colombo, Sri Lanka (1965). Lalu menjabat Kuasa Usaha di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Sri Lanka (1965-1968). Kemudian kembali lagi ke Jakarta menjabat Kepala Biro, Tata Usaha Sekretariat Jenderal, Deplu (1969-1970). Lalu bertugas di Kedutaan Besar Republik Indonesia di London (1971-1974), sebelum diangkat menjadi Kepala Biro Umum, Deplu (1975-1976).  Setelah itu diangkat menjabat Duta Besar di Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Qatar (1976-1980), sebelum ditarik kembali ke Jakarta menjabat Direktur Jenderal Politik Deplu (1980-1983). Kemudian diangkat menjabat sebagai Menteri Agama RI (1983-1993). Selepas itu, ia pun mengakhiri karir dan pengabdiaanya pada negara sebagai Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan anggota Dewan Pertimbangan Agung (1993-1998).[17]
Pada tahun 1994, Munawir Sjadzali mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Agama Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Munawir Sjadzali pernah menjadi anggota dari Associate Member International Institute of Islamic Studies McGill University, Canada pada bulan Maret-Mei tahun 1994. Menjadi Lektor Tamu pada Universitas Leiden, Belanda bulan April tahun 1995 serta menjadi anggota tim penasehat Yayasan Wakaf  Paramadina.[18]

3.      Pengalaman Hidup (Dari Lembah Kemiskinan)
Beliau mengatakan bahwa “Pada waktu itu para santri yang satu pondok dengan saya rata-rata mendapatkan bekal dari orang-tua masing-masing sekitar 5 gulden setiap bulannya. Orangtua saya menyanggupi membekali saya setiap bulannya dengan sepuluh kilogram beras, 1 gulden uang saku/ lauk pauk, dan uang pembayaran sekolah. Saya akan cukup bergembira kalau apa yang dijanjikan ayah itu terpenuhi dengan teratur. Tetapi lebih sering tidak demikian. Tidak jarang saya terlambat menerima kiriman berminggu-minggu, dan kalau kemudian kiriman datang jumhlanya tidak penuh. Selama sekitar tujuh tahun saya belajar di Sala tidak jarang saya menunggak tidak membayar sekolah sampai berbulan-bulan[19]
Beliau juga mengatakan “Selama belajar di Sala, saya termasuk murid yang paling serba kekurangan dank arena tidak mempunyai sepeda maka kegiatan saya sangat terbatas. Kawan-kawan yang mempunyai kereta angina dan uang saku yang tebal sempat beramai-ramai menambah pengetahuan dengan mengambil tutorial dari sejumlah guru di luar jam sekolah. Itulah barangkali yang menyebabkan saya, seperti yang dikatakan oleh seorang teman yang pernah satu kelas dengan saya dahulu, biasa-biasa saja”.[20]
Salah satu hal yang kiranya patut saya kemukakan di sini ialah, sewaktu saya berusia enam belas tahun penderitaan saya betul-betul mencapai puncaknya. Lama tidak menerima kiriman bekal dari orangtua, berbulan-bulan tidak dapat membayar uang sekolah, dan hutang sudah menumpuk. Dalam suasana yang demikian gelap itu pada suatu malam saya shalat Tahajjud. di tengah malam yang sepi dan sunyi itu saya menangis di hadapan Al-Khaliq dan meluncurlah permohonanku, "ya Allah, berikanlah kepada hambamu ini kekuataan dan ketabahan dalam menanggung penderitaan ini. saya memohon, hendaknya saya sajalah yang memikul beban yang seberat ini. jauhkanlah anak-anak dan keturunanku dari kemelaratan".[21]
Beliau mengungkapkan "doa itu dikemudian hari sangat mempengaruhi sikap hidupku dan hubunganku dengan anak-anakku. Pertama, saya menjadi sangat takut terhadap kemiskinan, sehingga saya sangat hati-hati dalam hidup, terutama dalam pengelolaan keuangan keluarga. Kedua, saya cenderung memanjakan anak-anakku..."[22] Belum lagi penghinaan dari keluarganya karena kemiskinannya. sewaktu beliau kecil, ayahnya tidak mampu menyelenggarakan khitanannya. khitanannya dititipkan dengan khitanan saudara-saudara sepupunya, pada saat itu Munawir kecil lagi tak mempunyai nafsu makan, pada malam hari seusai khitanan, pamannya mengatakan dengan nada melecehkan "Ayo Wir makan, mumpung ada makanan enak. ayahmu tidak akan dapat membikin pesta seperti ini".[23]
Beliau mengatakan “Pengaruh dari semua itu pada sikap hidup saya adalah, Pertama, persamaan darah dan keturunan tidak lagi merupakan pengikat utama bagi saya. Inilah barangkali yang menyelamatkan saya dari nepotisme Kedua, saya menjadi sangat peka dan mudah ikut tersinggung terhadap penghinaan, sikap tidak adil dan pelecehan terhadap orang-orang kecil dan miskin. Kecil dan miskin itu sudah merupakan beban yang berat. Jiwaku ikut berontak kalau ada orang yang lebih beruntung menambah beban yang sudah berat itu dengan penghinaan dan kedzaliman”.[24] Beliau mengatakan bahwa kehidupan yang penuh penderitaan itu mengajarkannya untuk tetap berkepribadian meski dalam kemelaratan.
B.     Pemikiran Munawir Sjadzali tentang Pembagian Harta Warisan Anak Laki-Laki dan Perempuan
Beliau mengatakan bahwa dalam pembagian warisan anak laki-laki mendapatkan dua kali lebih banyak dari anak perempuan itu tidak lagi mencerminkan semangat keadilan untuk masyarakat kita sekarang ini, dapat dilihat antara lain dari banyaknya penyimpangan dari ketentuan tersebut, tidak saja oleh anggota masyarakat Islam yang awam dalam ilmu agama, tetapi juga oleh banyak ulama. Seraya tidak melaksanakan Hukum Faraidl Islam, tetapi tidak hendak dikatakan melanggar ajaran Islam tersebut, banyak ulama melakukan hailah. Mumpung masih hidup mereka membagi kekayaan kepada putra-putrinya sebagai hibah, masing-masing mendapat bagian sama besar tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Satu hal yang tampaknya kurang disadari oleh para ulama tersebut adalah: dengan membagi kekayaan kepada putra-putri mereka semasa mereka masih hidup itu secara tidak langsung mereka tidak percaya lagi kepada keadilan hukum Faraidl Islam. Sebab kalau mereka percaya mereka tidak akan mengambil tindakan pre-emptive itu. Dari segi akidah dan iman, sikap seperti itu merupakan masalah serius dan berbahaya. Juga terkesan sangat janggal bahwa dalam negara yang undang-undang dasar dan sistem perundangan-undangannya mengakui persamaan antara pria dan wanita, dan dimana peranan kaum wanita hampir setingkat dengan pria sebagai pencari nafkah untuk keluarga, dalam pembagian warisan justru dibedakan: anak perempuan hanya mendapatkan separuh dari yang diterima oleh laki-laki.[25]
Menarik bahwa di antara alim ulama yang menyetujui gagasan pemberian hak yang sama besar antara anak laki-laki dan anak perempuan adalah KH. Ali Darokah, Ketua Majelis Ulama Sukarta. Di masyarakat Sukarta, khususnya di kalangan pengusaha batik, tulang punggung perusahaan keluarga adalah istri, mulai dari pembelian kain putih dan lilin, pengawasan proses produksi, sampai pemasaran produksi. Peranan suami hanyalah sebagai pembantu utama, penulis, penagih utang dan pengantar anak sekolah. Dalam masyarakata dengan budaya seperti itu, tidaklah adil kalau anak pria mendapatkan pembagian warisan dua kali lebih banyak dari saudara perempuannya.[26]
Munawir Sjadzali mengatakan ketentuan dalam hukum Waris Islam, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an, bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali lebih besar dari yang diterima oleh anak perempuan, Al-Maula memberikan alasan: karena pada waktu kawin nanti anak laki-laki harus membayar mahar atau mas kawin dan harus memberi nafkah kepada Istri serta menyediakan perumahan lengkap dengan perabotannya. Sebaliknya anak perempuan (kalau nanti kawin) akan menerima mahar atau mas kawin dan nafkah serta perumahan dari suaminya. Meskipun anak laki-laki menerima bagian lebih besar dari anak perempuan tetapi bagian yang dia terima itu akan banyak dikurangi karena dia harus membayar mahar atau mas kawin, memberikan nafkah dan tempat tinggal kepada istrinya. Sedangkan bagian yang lebih kecil yang diterima oleh anak perempuan itu akan tetap utuh dan kalau dia kawin bahkan akan bertambah karena dia akan menerima mahar, nafkah dan perumahan dari suaminya.[27]
Munawir Sjadzali menjelaskan alasan yang dipaparkan Al-Maula tersebut mungkin bisa kita terima. Tetapi bagaimana halnya kalau budaya masyarakat tidak lagi demikian. Misalnya, dalam masyarakat Islam Indonesia sekarang ini mahar atau mas kawin itu tinggal merupakan formalitas saja. Bentuknya tidak lagi berupa uang tunai atau benda berharga tetapi hanya seperangkat alat shalat, yang sama sekali tidak mahal. Selain itu, suami dan istri sama-sama mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga: pangan, sandang, dan papan. Dengan demikian maka hubungan antara yang memberi dan yang menerima, melainkan hubungan antara dua anak manusia yang sepakat untuk hidup bersama dan membina keluarga atas dasar gotong royong, masing-masing bekerja mencari nafkah untuk tegaknya rumah tangga.[28] Dalam keluarga seperti itu, alasan yang dikemukakan bahwa di anak benua India, Pakistan dan India serta Sri Lanka justru yang harus membayar mahar atau dowry adalah perempuan, dan jauh lebih besar dari mahar yang lazim diberikan oleh laki-laki kepada perempuan di dunia Arab. Adat istiadat wanita “membeli” pria di kawasan anak benua India itu terdapat di semua kelompok agama, termasuk umat Islam.[29]
Di bagian lain telah dikemukakan bahwa terdapat cukup banyak ulama Indonesia yang enggan mengikuti hukum waris Islam, tetapi juga tidak mau dikatakan melanggar Faraidl. Mereka mencari jalan keluar dengan membagikan kekayaan kepada anak-anak mereka dengan bagian sama besar antara anak laki-laki dan perempuan semasa mereka masih hidup sebagai hibbah. Sementara itu, mereka melupakan implikasinya yang cukup gawat bahwa dengan menempuh cara tersebut secara tidak langsung mereka mengakui bahwa huku waris Islam tidak sesuai lagi dengan semangat keadilan, jika diterapkan pada masyarakat kita sekarang. Tegasnya, menghindar secara tidak jantan dari hukum waris Islam.[30]
Munawir menyatakan bahwa kalau penafsiran Al-Qur’an itu dilakukan secara menyeluruh, artinya dalam mengartikan suatu ayat harus dikaitkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang lain, kiranya masalah itu dapat diatasi. Misalnya, dalam memahami surah An-Nisa ayat 176, yang menyatakan bahwa anak laki-laki mendapatkan bagian dua kali lebih besar dari yang diterima oleh anak perempuan, itu dikaitkan dengan surat An-Nahl ayat 90 yang berbunyi:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” Munawir menyatakan bahwa kita diharapkan agar memanfaatkan akal atau nalar kita untuk menilai apakah suatu ketentuan hukum itu sesuai dengan semangat keadilan di tengah masyarakat di mana hukum itu akan diberlakukan.[31]

C.    Kritik Pemikiran Munawir Sjadzali Pembagian Harta Warisan antara Anak Laki-Laki dan Perempuan  
Jika kita melihat kehidupan masa lalu Munawir Sjadzali yang miskin, serba kekurangan, hampir putus sekolah karena tidak sanggup membiayai sekolahnya dan banyaknya hutang begitu mempengaruhi kehidupannya. Pengaruh ini membuat Munawir trauma atau takut dengan kemiskinan sebagaimana ia menceritakan dalam buku “Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadali”, ia bertutur:
"Pada suatu malam saya shalat Tahajjud. di tengah malam yang sepi dan sunyi itu saya menangis di hadapan Al-Khaliq dan meluncurlah permohonanku, "ya Allah, berikanlah kepada hambamu ini kekuataan dan ketabahan dalam menanggung penderitaan ini. saya memohon, hendaknya saya sajalah yang memikul beban yang seberat ini. jauhkanlah anak-anak dan keturunanku dari kemelaratan."
Beliau mengungkapkan "doa itu dikemudian hari sangat mempengaruhi sikap hidupku dan hubunganku dengan anak-anakku. Pertama, saya menjadi sangat takut terhadap kemiskinan, sehingga saya sangat hati-hati dalam hidup, terutama dalam pengelolaan keuangan keluarga. Kedua, saya cenderung memanjakan anak-anakku..."
Belum lagi penghinaan dari keluarganya karena kemiskinannya. sewaktu beliau kecil, ayahnya tidak mampu menyelenggarakan khitanannya. khitanannya dititipkan dengan khitanan saudara-saudara sepupunya, pada saat itu Munawir kecil lagi tak mempunyai nafsu makan, pada malam hari seusai khitanan, pamannya mengatakan dengan nada melecehkan "Ayo Wir makan, mumpung ada makanan enak. ayahmu tidak akan dapat membikin pesta seperti ini".
Beliau mengatakan pengaruh dari semua itu pada sikap hidup saya adalah, Pertama, persamaan darah dan keturunan tidak lagi merupakan pengikat utama bagi saya. Kedua, saya menjadi sangat peka dan mudah ikut tersinggung terhadap penghinaan, sikap tidak adil dan pelecehan terhadap orang-orang kecil dan miskin.[32]
Boleh jadi trauma di masa kecilnya, yang hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan melatar belakangi lahirnya “ijtihad” Munawir Sjadzali dalam memahami surah An-Nisa ayat 11:
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءٗ فَوۡقَ ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۖ وَإِن كَانَتۡ وَٰحِدَةٗ فَلَهَا ٱلنِّصۡفُۚ...
11. Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; …
Keluar daripada ijma ulama. Munawir memahami ayat ini, ayat tentang pembagian harta warisan anak laki-laki dan perempuan yang Allah tetapkan secara jelas dan terperinci (tidak seperti syariat-syariat yang lain) tidaklah adil untuk masyarakat sekarang ini.
Sebagaimana yang ia ungkapkan dalam bukunya Ijtihad Kemanusian "Pembagian warisan anak laki-laki mendapatkan dua kali lebih banyak dari anak perempuan itu tidak lagi mencerminkan semangat keadilan untuk masyarakat kita sekarang ini...."[33]
Maka kami katakan hal ini tentu sama saja meragukan keadilan Allah yang Maha Adil dan menganggap Allah tidak adil dalam menetapkan ketetapan bagian-bagian harta warisan yang sudah jelas dan terperinci. Di akhir ayat 11 Allah swt berfirman:
... Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. (Q.S. An-Nisa: 11)
Hamka menafsirkan ini adalah ketetapan Allah yaitu ketentuan yang tidak boleh diubah-ubah lagi. Siapa yang melanggar akan ditimpa dosa yang besar dan dia sudah menjadi hukum Allah yang dirumuskan di dalam undang-undang suatu negara yang penduduknya lebih banyak beragama Islam, sebagai negara kita ini bahwa, “Hukum faraidl berlaku di Indonesia bagi pemeluk-pemeluk agama Islam.” Sehingga barang siapa yang melanggar dapat dikenakan sanksi (pandahan) hukum.
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini ini adalah ketetapan Allah maksudnya ketetapan yang telah Allah sebutkan menyangkut rincian bagian warisan dan memberikan kepada sebagian ahli waris bagian yang lebih banyak daripada yang lainnya. Hal tersebut merupakan ketentuan Allah dan keputusan yang telah ditetapkanNya. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, Dia tidak akan meletakkan segala sesuatu yang bukan pada tempatnya dan Dia pasti memberi setiap orang hak yang layak, diterima sesuai dengan keadaannya.[34] Karena itulah Allah swt berfirman:
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana” (Q.S An-Nisa: 11)
Dalam hal ini Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menafsirkan surah An-Nisa ayat 11 mengatakan bahwa:
"Bagian laki-laki ialah dua kali bagian perempuan. dengan melengahkan bahwa aturan Islam menentukan perempuan dapat bagian, ada orang yang tidak menyenangi Islam mengemukakan bantahannya, "mengapa laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan, mengapa tidak disamakan saja?" kalau orang berpikir secara objektif, kita tanyai, "mengapa di dalam beberapa bangsa di Eropa-Kristen, sampai zaman sekarang ini perempuan tidak berhak atas waris?" Niscaya mereka akui bahwa tanggung jawab laki-laki dalam negara yang semodern-modernnya sekalipun, lebih berat daripada tanggung jawab perempuan."[35]
Buya Hamka melanjutkan "Islam mengakui bahwa dalam pergaulan hidup manusia di dunia, dimana saja, tanggung jawab laki-laki dalam harta benda jauh lebih berat daripada tanggung jawab perempuan. meskipun pada zaman modern ini hak-hak perempuan sudah diberikan lebih maju daripada zaman purbakala, tetapi persediaan ruhani jasmani untuk menghasilkan harta tidak juga sama dengan laki-laki. meskipun tidak sama, Islam telah menentukan bahwa perempuan pun mendapat hak sepadan dengan keadaan tenaganya. seorang perempuan di segala zaman tidaklah terlepas dari tanggung jawab dan perlindungan laki-laki...."[36]
Ibnu Katsir mengatakan Allah menjadikan bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, dikarenakan seorang lelaki dituntut kewajiban memberi nafkah dan beban biaya lainnya. Jerih payah dalam berniaga dan berusaha serta menanggung semua hal yang berat. Maka sangatlah sesuai bila ia diberi dua kali lipat dari apa yang diterima oleh perempuan. Ibnu Katsir melanjutkan seorang ulama yang cerdik menyimpulkan dari firmanNya: “Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan” bahwa Allah swt lebih kasih saying kepada makhlukNya daripada seorang ibu kepada anaknya, karena Allah telah mewasiatkan kepada kedua orang tua terhadap anak-anak mereka, maka diketahuilah bahwa Dia lebih saying kepada mereka daripada orang-orang tua mereka sendiri.[37]
 Sedangkan Sayyid Qutb dalam fi Zhilalil Qurannya mengatakan bahwa orang yang mengataka bahwa “Sesungguhnya kami memilih untuk diri kami sendiri dan kami lebih mengetahui apa yang baik bagi kami” Ucapan seperti ini kata Sayyid Qutb disamping lebih dari bathil, pada waktu yang sama adalah menjelekkan, mencela, menyombongkan dari, sok lebih tahu terhadap Allah dan suatu anggapan yang tidak akan beranggapan demikian kecuali orang yang tak tahu malu lagi amat bodoh.[38] Sayyid Qutb menjelaskan tentang  ayat “… bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan…”:
Adalah sebagai berikut, "Ketentuan pembagian ini bukan berarti sikap pilih kasih berdasarkan jenis kelamin. akan tetapi, ketentuan ini justru menunjukkan keseimbangan dan keadilan, karena berbedanya tanggung jawab antara lelaki dan wanita dalam kehidupan keluarga dan sistem sosial Islam. pasalnya, seorang lelaki menikah dengan seorang wanita dan diberi beban tanggung jawab mengenai kehidupan keluarga dan anak-anaknya dalam semua hal, sementara istri hanya menyertainya saja, dan terlepas dari beban tanggung jawab itu. wanita hanya mengurusi dirinya saja, bahkan boleh jadi si lelaki sudah mengurusinya sebelum dan sesudah menikahinya. si wanita tidak dibebani tanggung jawab mencari nafkah untuk suami dan anak-anaknya sama sekali. maka seorang lelaki minimal, diberi tugas lebih banyak dari wanita di dalam kehidupan berkeluarga dan dalam kehidupan sosial Islam."[39] "Oleh karena itu, tampaklah keadilan dan keserasian antara beban tanggung jawabnya dan perolehannya dalam pembagian kewarisan yang bijaksana ini. tampak pula kejahilan orang yang mencela pembagian ini dari satu segi dan ketidaksopanannya terhadap Allah dari segi lain".[40]
Perkataan Munawir Sjadzali dalam “Ijtihad Kemanusian
“…Dapat dilihat antara lain dari banyaknya penyimpangan dari ketentuan tersebut, tidak saja oleh anggota masyarakat Islam yang awam dalam ilmu agama, tetapi juga oleh banyak ulama. Seraya tidak melaksanakan Hukum Faraidl Islam, tetapi tidak hendak dikatakan melanggar ajaran Islam tersebut, banyak ulama melakukan hailah. Mumpung masih hidup mereka membagi kekayaan kepada putra-putrinya sebagai hibah, masing-masing mendapat bagian sama besar tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Satu hal yang tampaknya kurang disadari oleh para ulama tersebut adalah: dengan membagi kekayaan kepada putra-putri mereka semasa mereka masih hidup itu secara tidak langsung mereka tidak percaya lagi kepada keadilan hukum Faraidl Islam…
Dari pernyataan di atas Munawir menuduh ulama tidak percaya lagi kepada keadilan hukum Faraidl Islam, Padahal Munawir sendirilah yang tidak percaya dengan keadilan hukum Faraidl Islam dengan mengatakan bahwa pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan tidak adil untuk saat ini. Adapun ulama yang membagi hartanya sama rata kepada anak-anaknya sebagai tidaklah mengapa. Walaupun demikian ulama tidak pernah merubah bagian-bagian yang ditetapkan Allah ketika pembagian itu bukan lagi hibah dalam arti lain adalah warisan.
Perkataan Munawir Sjadzali Tetapi bagaimana halnya kalau budaya masyarakat tidak lagi demikian. Misalnya, dalam masyarakat Islam Indonesia sekarang ini mahar atau mas kawin itu tinggal merupakan formalitas saja. Bentuknya tidak lagi berupa uang tunai atau benda berharga tetapi hanya seperangkat alat shalat, yang sama sekali tidak mahal. Selain itu, suami dan istri sama-sama mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga: pangan, sandang, dan papan. Dengan demikian maka hubungan antara yang memberi dan yang menerima, melainkan hubungan antara dua anak manusia yang sepakat untuk hidup bersama dan membina keluarga atas dasar gotong royong, masing-masing bekerja mencari nafkah untuk tegaknya rumah tangga.[41]

Maka kami katakan bahwa:
1.      Harusnya bukan syariat yang mengikuti adat istiadat sehingga syariat yang sempurna ini perlu direvisi, tapi adat yang bertentangan dengan syariat itulah yang perlu diluruskan agar sejalan dengan syariat.
2.      Walaupun perempuan ikut serta dalam mencari nafkah akan tetapi ini bukan merupakan sebuah kewajiban bagi perempuan. Tetap kewajiban mencari nafkah adalah dari laki-laki. Jika logika Munawir Sjadzali ini  dipakai, maka sesungguhnya tidaklah mengapa laki-laki yang mendapat dua bagian  (setelah dibagi harta warisan itu) memberikan sebagian hartanya kepada saudara perempuannya dalam rangka membantu kehidupan saudaranya. Tapi yang perlu diingat hal ini tidak merubah hukum dari ketetapan bagian-bagian dalam pembagian harta warisan yang tidak boleh ditambah atau dikurangi.
Sebagaimana Ahmad Zain Najah menjelaskan dalam makalahnya[42] bahwa alasan orang yang menolak Ayat tentang pembagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan diantaranya adalah Thohir al Haddad, dan DR. Nasr Abu Zaid, kemudian diikuti oleh Munawir Sjadzali, bahwa ayat ini tidak berlaku untuk masa kini dengan alasan bahwa keadaan berbeda, bahkan mungkin sebagian orang dengan rasa bangga menggunakan kaidah di dalam fikih “taghoyurul ahkam bi taghoyuri zaman wal makan “ (Suatu hukum bisa berubah jika keadaan dan waktunya berubah juga). Mereka mengatakan, bahwa perempuan hari ini telah ikut berpartisipasi bersama laki- laki di dalam menjalani kehidupan ini dalam segala aspeknya: Ekonomi, Budaya, Pendidikan, dan Politik. Perempuan hari ini bekerja mencari nafkah, sebagaimana laki-laki, bahkan di sebagian daerah, menurut Munawir Sjadzali, seperti Solo, perempuanlah yang berkeja mencari nafkah, sedangkan laki- lakinya hanya di rumah, memelihara burung.[43]
Kemudian Ahmad Zain Najah menjelaskan oleh karenanya, menurut pendapatnya, pembagian jatah warisan dengan membedakan antara perempuan dengan laki- laki adalah tidak adil dan mendiskriminasikan perempuan dan ajaran Islam sendiri pada dasarnya tidaklah menutup untuk adanya kesetaraan gender secara sempurna antara laki- laki dan perempuan, termasuk di dalamnya dalam menerima jatah warisan, jika memang terwujud didalamnya masalahat dan keadilan. Menurutnya, bahwa apa yang telah di tetapkan Rasulullah saw, bukanlah segala- galanya yang tidak ada perubahan setelahnya.[44]
Ahmad Zain membantah alasan-alasan tersebut Apa yang diungkapkan di atas hanyalah sekedar lamunan dan ucapan yang berdasarkan pandangan yang sekilas, parsial dan picik. Allah swt sendiri pada akhir ayat warisan telah menyebutkan dengan tegas bahwa jatah warisan yang telah di tentukan tersebut merupakan batasan yang sakral dan tidak boleh dirubah- rubah atau di langgar seraya menyebutkan ancaman yang sangar bagi siapa yang berusaha melanggarnya.[45] Allah berfirman:
 “(hukum- hukum) tersebut adalah ketentuan- ketentuan dari Allah, barang siapa yang mentaati Allah dan rosul-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga–surga yang mengalir sungai- sungai dari bawahnya. Itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rosulNya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam neraka, dia kekal di dalamnya dan mendapatkan adzab yang pedih“ ( Q.S. An Nisa’ : 13-14 )
Ahmad Zain melanjutkan Adapun kaidah fikih yang meyebutkan “perubahan hukum, mengikuti perubahan waktu dan keadaan“ itu hanya berlaku pada hukum- hukum ijitihadiyah, atau hukum –hukum yang di tetapkan berdasarkan maslahat sementara atau keadaan sementara, seperti hukum ta’zir dengan mencambuk peminum khomr 80 kali cambukan, sistem dan metode pendidikan, administrais negara dan lain- lainnya . Adapun hukum- hukum yang telah di tetapkan oleh Syariat batasannya, seperti hukum warisan ini, maka kaidah tersebut tidak bisa dipakai.[46]
Ahmad Zain Najah juga dalam makalahnya menjelaskan bahwa pembagian harta warisan ini kalau diteliti secara seksama ternyata menguntungkan perempuan. Bagi anak perempuan harta yang ia dapat dari harta warisan akan bertambah tidak berkurang karena ketika dia menikah dia akan mendapatkan mahar dari suaminya dan akan bertambah pula, jika uang tersebut dikembangkan dalam bentuk perniagaan. Bahkan harta itu tidak berkurang, karena semua kebutuhannya ditanggung oleh suaminya ketika sudah menikah. Adapun bagi anak laki-laki, maka hartanya akan berkurang pertama kalinya, ketika dia menikah untuk keperluan mahar, perabotan rumah tangga, dan keperluan hidup sehari-hari. Dari perbandingan tersebut akan terlihat jelas, bahwa sebenarnya yang di untungkan adalah pihak perempuan, yang tidak mempunyai tanggungan apa- apa, tapi dalam satu waktu mendapatkan jatah setengah dari jatah laki- laki.[47]






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Pandangan Munawir Sjadzali mengenai pembagian warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan dengan perbandingan 2:1 tidaklah adil untuk saat ini. Munawir beralasan bahwa sekarang perempuan juga berperan dalam mencari nafkah sehingga merasa pantas untuk mendapatkan jatah yang sama dengan laki-laki.
2.      Adapun para ulama sepakat bahwa pembagian warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan dengan perbandingan 2:1 adalah adil. Karena Allah yang Maha Adil yang secara membagi (menetapkan) sebagaimana yang ada di dalam Al-Qur’an. Anggapan bahwa itu tidaklah adil tidaklah benar, karena laki-laki mempunyai tanggung jawab yang besar dari pada perempuan sehingga pantas untuk mendapatkan 2 kali dari perempuan. Jika  lihat dengan cermat sebenarnya perempuan diuntungkan dengan pembagian ini karena harta yang didapatkan perempuan terus bertambah dan tidak berkurang sebab ketika menikah ia mendapatkan mahar, nafkah, dan menjadi tanggung jawab laki-laki. Sedangkan laki-laki ketika menikah hartanya terus berkurang karena membayar mahar, menafkahi anak dan istri dan bertanggung jawab atas keluarganya.
  
  
DAFTAR PUSTAKA

Media Cetak

Hamka. 2015. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Gema Insani.

Handrianto, Budi. 2010. 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia. Jakarta Timur: Hujjah Press.

Qutb, Sayyid. 2001. Terj: Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani.

Sjadzali, Munawir. 1994. Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini. Jakarta: Universitas Indonesia.

Sjadzali, Munawir. 1995. Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan), Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf Paramadina.

Sjadzali, Munawir. 1997. Ijtihad Kemanusian. Jakarta: PT. Temprint.

Sulastomo, dkk. 1995. Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA. Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf Paramadina.

Media Elektronik

Aplikasi Android. “Quran Tafsir Ibnu Katsir”. kampungsunnah.org

Najah, Ahmad Zain. 2011. Pembagian Warisan Dalam Islam Adalah Adil. http://ahmadzain.com/read/tsaqafah/382/pembagian-warisan-dalam-islam-adalah-adil/. diakses tanggal 15 November 2017 pukul 14.06 WIB








[1] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia¸ Jakarta Timur: Hujjah Press, 2010, h.2010, h. 54
[2] Dalam buku Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan) Munawir Sjadzali mengatakan kalau tidak salah nikah sirri pada tanggal 25 Mei 1950 dan acara perkawinan resmi yang diikuti dengan resepsi berlangsung pada tanggal 11 Oktober 1950.
[3] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan), Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995, h.44
[4] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia¸ Jakarta Timur: Hujjah Press, 2010, h.2010, h. 54
[5] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan), Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995.
[6] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia¸ Jakarta Timur: Hujjah Press, 2010, h.2010, h. 54
[7] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan), Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995, h.9
[8] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia¸ Jakarta Timur: Hujjah Press, 2010, h.2010, h.54
[9] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan), Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995, h.10
[10] Di Mambaul Ulum ada kelas pagi dan kelas sore. Karena terbatasnya daya tamping Mambaul Ulum “ pagi maka dibuka bagian sore, tetapi baik mata pelajaran maupun guru-gurunya sama dengan bagian pagi itu”
[11] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan), Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995, h.11
[12] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia¸ Jakarta Timur: Hujjah Press, 2010, h.2010, h. 54
[13] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia¸ Jakarta Timur: Hujjah Press, 2010, h.2010, h. 55
[14] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia¸ Jakarta Timur: Hujjah Press, 2010, h.2010, h. 55
[15] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia¸ Jakarta Timur: Hujjah Press, 2010, h.2010, h. 55
[16] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia¸ Jakarta Timur: Hujjah Press, 2010, h.2010, h. 55
[17] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia¸ Jakarta Timur: Hujjah Press, 2010, h.2010, h. 56
[18] Sulastomo, dkk, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995.
[19] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan), Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995, h.11
[20] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan), Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995, h.11
[21] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan), Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995, h.12
[22] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan), Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995, h.12
[23] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan), Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995, h.13
[24] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan), Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995, h.13
[25] Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusian, Jakarta: PT. Temprint, 1997, h.7-8
[26] Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusian, Jakarta: PT. Temprint, 1997, h.8
[27] Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusian, Jakarta: PT. Temprint, 1997, h.61
[28] Munawir Sjadzali mengambil contoh bahwa budaya telah berubah dari kehidupan anak-anaknya. “lima dari enam anak saya suami istri sama-sama bekerja untuk mencukupi segala keperluan rumah tangga mereka masing-masing.
[29] Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusian, Jakarta: PT. Temprint, 1997, h.62
[30] Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusian, Jakarta: PT. Temprint, 1997, h.62
[31] Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusian, Jakarta: PT. Temprint, 1997, h.62-63
[32] Munawir Sjadzali, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Bagian Pertama Dari Lembah Kemiskinan), Jakarta Selatan: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995, h.13
[33] Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusian, Jakarta: PT. Temprint, 1997, h.7
[34]Aplikasi Android “Quran Tafsir Ibnu Katsir”, kampungsunnah.org
[35] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Gema Insani, 2015, h. 215.
[36] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Gema Insani, 2015, h. 215.
[37] Aplikasi Android “Quran Tafsir Ibnu Katsir”, kampungsunnah.org
[38] Sayyid Qutb, Terj: Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2001, h. 289
[39] Sayyid Qutb, Terj: Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2001, h. 290
[40] Sayyid Qutb, Terj: Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2001, h. 290
[41] Munawir Sjadzali mengambil contoh bahwa budaya telah berubah dari kehidupan anak-anaknya. “lima dari enam anak saya suami istri sama-sama bekerja untuk mencukupi segala keperluan rumah tangga mereka masing-masing. Lihat Ijtihad Kemanusian hal. 62
[42] Ahmad Zain Najah, Pembagian Warisan Dalam Islam Adalah Adil, http://ahmadzain.com/read/tsaqafah/382/pembagian-warisan-dalam-islam-adalah-adil/, 2011, diakses tanggal 15 November 2017 pukul 14.06 WIB
[43] Ahmad Zain Najah, Pembagian Warisan Dalam Islam Adalah Adil, http://ahmadzain.com/read/tsaqafah/382/pembagian-warisan-dalam-islam-adalah-adil/, 2011, diakses tanggal 15 November 2017 pukul 14.06 WIB
[44] Ahmad Zain Najah, Pembagian Warisan Dalam Islam Adalah Adil, http://ahmadzain.com/read/tsaqafah/382/pembagian-warisan-dalam-islam-adalah-adil/, 2011, diakses tanggal 15 November 2017 pukul 14.06 WIB
[45] Ahmad Zain Najah, Pembagian Warisan Dalam Islam Adalah Adil, http://ahmadzain.com/read/tsaqafah/382/pembagian-warisan-dalam-islam-adalah-adil/, 2011, diakses tanggal 15 November 2017 pukul 14.06 WIB
[46] Ahmad Zain Najah, Pembagian Warisan Dalam Islam Adalah Adil, http://ahmadzain.com/read/tsaqafah/382/pembagian-warisan-dalam-islam-adalah-adil/, 2011, diakses tanggal 15 November 2017 pukul 14.06 WIB
[47] Ahmad Zain Najah, Pembagian Warisan Dalam Islam Adalah Adil, http://ahmadzain.com/read/tsaqafah/382/pembagian-warisan-dalam-islam-adalah-adil/, 2011, diakses tanggal 15 November 2017 pukul 14.06 WIB

Comments

Popular posts from this blog

Keutamaan Ilmu Dalam Islam