Keutamaan Ilmu Dalam Islam
Keutamaan Ilmu Dalam Islam
Oleh: Aco Wahab
BAB I
Oleh: Aco Wahab
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Bagi setiap muslim
menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban, bahkan kegiatan proses pencarian ilmu
dalam Islam dilakukan terus menerus hingga ajal menjemput. Di samping merupakan
kewajiban menuntut ilmu banyak sekali keutamaan orang-orang yang menuntut ilmu
salah satunya adalah Allah mudahkan baginya jalan menuju surga. Berdasarkan
hadits Rasullullah saw “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka
Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” Dari keutamaan-keutamaan itu
seharusnya kaum muslimin termotivasi mencari ilmu. Sehingga kaum muslimin
kembali menjadi pusat ilmu pengetahuan.
Ilmu memiliki arti yang luas, bahkan karena
luasnya arti ilmu, tidak bisa didefinisikan secara had hanya bisa didefinisikan secara rasm. Sebagaimana yang dikatakan Al-Attas bahwa secara umum dapat
dipahami bahwa ilmu tidak memerlukan pendefinisian (hadd). Makna yang terkandung dalam istilah ilm secara alami dapat langsung
dimengerti manusia berdasarkan pengetahuannya tentang ilmu, karena ilmu adalah
salah satu sifat yang paling penting bagi manusia.[1]
Dalam dunia Islam
konsep ilmu berbeda dengan konsep ilmu dalam pandangan barat, dalam Islam tidak
ada dikotomi ilmu sedangkan di dunia barat ada dikotomi ilmu. Dalam dunia barat ilmu terjadi dikotomi ilmu
yang satu dikenal dengan istilah science
dan yang satunya lagi dengan istilah knowledge.
Istilah science diperuntukkan bagi
bidang-bidang ilmu fisik atau empiris. Sedangkan istilah knowledge diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu nonfisik seperti
mental dan metafisika. Istilah science
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan ilmu pengetahuan sementara knowledge diterjemahkan dengan
pengetahuan saja. Dengan kata lain, hanya ilmu yang sifatnya fisik dan empiris
saja yang bisa dikategorikan ilmu, sementara sisanya, seperti ilmu agama tidak
bisa dikategorikan ilmu (ilmiah). Sedangkan dalam Islam objek ilmu tidak
sebatas berbicara pada objek fisik saja akan tetapi mencakup objek fisik dan
metafisik yang mana semuanya dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan. Apalagi
yang bersumber dari wahyu.
Kedudukan ilmu sendiri
dalam Islam memiliki posisi yang sangat mulia dan sangat penting. Disamping
kewajiban setiap muslim dan keutamaan-keutamaan dalam mencari ilmu, orang yang
memiliki ilmu pun memiliki kedudukan yang berbeda dengan orang yang tidak
memiliki ilmu. Bahkan Allah mengangkat derajat orang-orang yang berilmu
sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Mujadillah ayat 11.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Ilmu
Secara etimologi ilmu
Akar kata ‘ain-lam-mim yang
diambil dari perkataan ‘alamah,
yaitu ma’rifah (pengenalan),
syu’ur (kesadaran), tadzakkur (pengingat), fahm dan fiqh (pengertian dan pemahaman), ‘aql (intelektual), dirayah dan riwayah (perkenalan, pengetahuan,
narasi), hikmah (kearifan),
‘alamah (lambang), tanda
atau indikasi yang dengan sesuatu atau seseorang dikenal. ‘Ilm yang bermakna pengetahuan
merupakan derivasi dari kata kerja ‘alima
yang bermakna mengetahui.[2]
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia Ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan
gejala tertentu di bidang pengetahuan.[3]
Sedangkan menurut Al-Raghib Al-Isfahani, ilmu adalah persepsi suatu hal dalam hakikatnya. Segala hal yang
menyangkut hakikat yang tak berubah. Menurut Imam Al-Ghazali, Ilmu adalah
pengenalan sesuatu atas dirinya. Menurut Al-Sharif Al-Jurjani, ilmu adalah
tibanya minda[4]
pada makna sesuatu.[5]
Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud merujuk pada kamus Arabic-English
Lexicon menjelaskan, perkataan ‘ilm berasal dari kata ‘ain-lam-mim
yang diambil dari kata ‘alamah, yaitu tanda, penunjuk, atau indikasi
yang sesuatu atau seseorang dikenal, kognisi atau label, ciri-ciri, indikasi,
tanda-tanda. Disebabkan hal seperti inilah, sejak dahulu umat Islam menganggap ‘ilm
‘ilmu pengetahuan berarti Al-Qur’an, Syariat, Sunnah, Islam, Iman, Ilmu
spiritual (‘ilm al-ladunni), hikmah dan ma’rifah, atau sering
juga disebut cahaya (nur), pikiran (fikrah), sains (khususnya
‘ilm yang kata jamaknya ‘ulum), dan pendidikan yang semuanya itu
menghimpun semua hakikat ilmu. Dari luasnya cakupan ilmu dalam Islam,
mendefinikan ilmu secara secara hadd[6]
adalah mustahil.
Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Ilmu itu dapat berarti Kitab Suci Alquran,
Hukum yang diwahyukan (syariah), sunnah, Islam, keimanan, ilmu spiritual (al-ilm al ladunniyy), kebijaksanaan
(hikmah), dan ma’rifah, juga secara umum disebut cahaya, pemikiran, sains, dan
pendidikan. Naquib Al-Attas mengatakan secara umum dapat dipahami bahwa ilmu
tidak memerlukan pendefinisian (hadd). Makna yang terkandung dalam istilah ilm
secara alami dapat langsung dimengerti manusia berdasarkan pengetahuannya
tentang ilmu, karena ilmu adalah salah satu sifat yang paling penting bagi
manusia.[7]
Ketika menyadari bahwa dalam mendefinisikan ilmu secara hadd
adalah mustahil, maka al-Attas hanya mengajukan definisi deskriptif (rasm).
Dengan premis bahwa ilmu itu datang dari Allah swt dan diperoleh oleh jiwa yang
kreatif. Al-Attas membagi pencapaian dan pendefinisian ilmu ke dalam dua
bagian. Pertama, sebagai sesuatu yang berasal dari Allah swt bisa dikatakan
bahwa ilmu itu adalah datangnya (hushul) makna sesuatu atau objek ilmu
ke dalam jiwa pencari ilmu. Kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang
aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wushul)
pada makna sesuatu atau objek ilmu.[8]
Yazdi dalam Buku Daras Filsafat Ilmu menjelaskan tentang ilmu ini
sebagaimana halnya al-Attas. Hanya
istilah yang digunakannya ada perbedaan. Untuk ilmu yang datang secara langsung
dari Allah swt, Yazdi menamakannya al-‘ilm al-hudluri (pengetahuan
dengan kehadiran, presentational knowledge, knowledge by presence).
Sementara ilmu yang didapatkan lewat usaha manusia disebut al-‘ilmi
al-hushulli (pengetahuan tangkapan atau perolehan, acquired knowledge).[9]
Sedangkan menurut Menurut Dr. Rajih ‘Abd al-Hamid al-Kurdi dalam karyanya tentang perbandingan epistemologi
antara Al-Qur’an dan filsafat (nazhariyyat al-ma’rifah baina al-Qur’an wa
al-falsafah) menguraikan definisi ilmu menurut para pemikir Mu’tazilah,
filsuf Yunani, dan para ulama Ahl
al-Sunnah. Hasilnya, ia menyimpulkan bahwa ilmu cukup jelas untuk tidak
didefinisikan. Karena semua definisi yang diajukan oleh masing-masing pakar,
berbeda-beda dan hanya terfokus pada beberapa aspek yang menjadi titik
perhatiannya saja. Sehingga bisa dipastikan tidak ada definisi ilmu yang hadd.[10]
Dari pendapat-pendapat tadi Nashruddin Syarif mengatakan
bahwa pendapat ini mengindikasikan dengan jelas bahwa ilmu dalam Islam mencakup
dua pengertian. Pertama, sampainya ilmu dari Allah ke dalam jiwa
manusia. Kedua, sampainya jiwa manusia terhadap objek ilmu melalui
penelitian dan kajian.[11]
Nashruddin Syarif melanjutkan bahwa dalam hal ini, mutlak disimak firman Allah
swt berikut ini:
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang Menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam[12]
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
(Q.S Al-Alaq: 1-5)
Secara
jelas, ayat di atas menginformasikan bahwa ilmu bisa diperoleh dengan aktivitas
iqra’, juga bisa diperoleh dengan
anugerah Allah swt langsung kepada manusia.
B.
Klasifikasi
Ilmu
1.
Menurut
Imam Al-Ghazali
Ketika membahas masalah ilmu, Al-Ghazali
menggambarkan bahwa suatu ilmu atau profesi tertentu diperlukan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang diwajibkan dalam tatanan social masyarakat.
Secara terperinci Al-Ghazali menggunakan tiga pendekatan: epistemologis,
ontologis, dan aksiologis.[13]
a.
Secara
Epistemologis
Secara
Epistemologis ilmu dibagi menjadi dua yaitu ilmu syar’iyyah dan ilmu ghairu
syar’iyyah atau disebut pula ilmu aqliyah. Ilmu syar’iyyah
ialah ilmu yang diperoleh dari para Nabi dan tidak ditunjukkan oleh akal
manusia padanya.[14] maksudnya adalah yang berasal dari Nabi Muhammad saw.[15]
Ilmu syar’iyyah ini terdiri dari empat kelompok yaitu: ilmu ushul
(pokok), ilmu furu’(cabang), ilmu muqaddimah (ilmu alat), ilmu mutammimah
(penyempurna). Sedangkan ilmu ghairu syar’iyyah adalah ilmu yang
bersumber dari akal, baik yang diperoleh dlaruri atau iktisabi. Dharuri ialah
yang diperoleh dari insting akal itu sendiri tanpa melalui taklid atau indra,
darimana dan bagaimana datangnya manusia tidak mengetahuinya. Misalnya
pengetahuan manusia bahwa seseorang tidak ada pada dua tempat dalam waktu yang
sama. Inilah ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia secara pasti sejak kecil
dan menjadi fitrah baginya. Sedangkan iktisabi ialah yang
diperoleh melalui kegiatan belajar dan berfikir. Seperti halnya ilmu yang
bersifat duniawi seperti ilmu matematika, fisika, kimia, kedokteran dan
lain-lain dan yang bersifat ukhrawi, seperti ilmu ihwal hati, bahaya-bahaya
amal, ilmu tentang Allah termasuk sifat dan af’alNya.[16]
b.
Secara
Ontologis
Secara
ontologis menurut Al-Ghazali dibagi menjadi dua, yaitu ilmu fardhu ain dan
ilmu fardhu kifayah. Dalam buku Pemikiran Al-Ghazali Tentang
Pendidikan ilmu fardhu ain adalah Ilmu
yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas akhirat dengan baik. Terdiri
atas: Ilmu tauhid, Ilmu syariat, dan ilmu sirri[17].
Sedangkan ilmu fardhu kifayah adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
urusan kedunian, yang perlu diketahui manusia. Ilmu-ilmu yang berhubungan
dengan profesi manusia.[18]
Muhammad Shalih Al-Utsaimin mengatakan bahwa ilmu fadhu ‘ain :
وضابطه
أن يتوقف عليه معرفة عبادة يريد فعلها أو معاملة يريد القيام بها , فإنه
يجب عليه في هذه الحال أن يعرف كيف يتعبد الله بهذه العبادة , وكيف يقوم
بهذه المعاملة , وما عدا ذلك من العلم ففرض كفاية
Dan patokannya (ilmu fardhu ‘ain) adalah suatu ilmu yang
menjadi syarat bisa terlaksananya (dengan benar) sebuah ibadah yang hendak
dilakukan oleh seorang hamba atau mu’amalah (aktifitas dengan orang lain) yang
hendak dikerjakannya, maka pada keadaan ini wajib ia mengetahui (ilmu tentang) bagaimana
beribadah kepada Allah dengan ibadah itu, dan (ilmu tentang) bagaimana
bermu’amalah dengan aktifitas mu’amalah itu. Adapun ilmu-ilmu selain itu,
adalah ilmu fardhu kifayah”[19]
Dari keterangan di atas kita
ketahui bahwa ruang lingkup ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim dan
muslimah adalah perkara yang berkaitan dengan ibadah,yaitu hubungan manusia
dengan Allah, dan mu’amalah, yaitu hubungan manusia dengan manusia yang lain.[20]
c.
Secara
Aksiologis
Al-Ghazali
menggunakan pendekatan aksiologis dalam menilai jenis ilmu. Secara aksiologis
ilmu dibagi menjadi tiga yaitu ilmu yang terpuji, ilmu yang mubah dan ilmu yang
tercela. Ilmu-ilmu syar’iyyah bersifat terpuji secara keseluruhan.
Sedangkan ilmu ghairu syar’iyyah ada yang terpuji, mubah dan ada pula
yang tercela. Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu yang tercela sebenarnya bukan
karena ilmunya akan tetapi lebih berkaitan dengan faktor manusinya. Al-Ghazali
mengatakan setidaknya ada tiga yang menyebabkan ilmu itu menjadi tercela. Pertama,
ilmu itu membawa kemelaratan, baik pada diri sendiri maupun orang lain,
contohnya: ilmu sihir dan mantra-mantra. Kedua, ilmu itu menurut
kebiasaannya membuat melarat bagi yang memiliki ilmu, seperti ilmu nujum. Ketiga,
terjun kedalam ilmu yang tidak memberi faedah kepada orang itu sendiri.
Seperti dipelajarinya ilmu yang tidak jelas sebelum mempelajari ilmu yang lebih
penting dan lebih jelas.
- Menurut
Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyyah membagi
ilmu dari aspek yang sama dengan pola yang sama. Yaitu ilmu syar’iyyah dan ‘aqliyyah. Syar’iyyah
yang dimaksudkan Ibnu Taimiyyah adalah yang berurusan dengan persoalan agama
dan ketuhanan, adapun ‘aqliyyah
adalah yang tidak diperintahkan oleh syara’ dan tidak pula diisyaratkan
olehnya.[21]
- Menurut
Muhammad Shalih Utsaimin
Muhammad Shalih Utsaimin
membahasakannya dengan ilmu syar’i
dan nazhari. Ilmu syar’i adalah fiqh ‘pemahaman’ terhadap kitab Allah
dan sunnah Rasulullah saw. Sementara ilmu nazhari
adalah ilmu shina’ah ‘perindustrian
dan yang berkaitan dengannya.[22]
Dari pembagian di atas, disimpulkan bahwa ilmu dalam Islam tidak hanya
meliputi ilmu-ilmu akidah dan syariah saja. Selain kedua ilmu tersebut, kita
masih berkewajiban untuk menuntut ilmu lainnya. Bisa dikatakan bahwa dengan ilmu
syar’iyyah kita akan mempelajari tanda Allah dari ayat qauliyyah yang bisa disebut dengan
zikir, sedangkan dengan ilmu ghair syar’iyyah, kita akan mempelajari ayat kauniyyah Allah yang terbentang pada jagat raya ini, yang
disebut dengan tafakur. Dalam hal ini, kita bisa menelaah bahwa dua aktivitas
ini merupakan implementasi dari ayat al-Qur’an Surah Ali ‘Imran [3] ayat
190-191, dengan natijah (buah) penerimaan amal oleh Allah bagi para
pelakunya
190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal,
191. (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau,
Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
Klasifikasi seperti ini penting untuk diterapkan
agar tidak terjadi “kekacauan ilmu”. Ketika agama diukur oleh akal dan indera
(induktif), maka yang lahir adalah sofisme modern. Sehingga adanya Ahmadiyah
dan aliran-aliran sesat tidak dipahami sebagai sebuah “kesalahan”, melainkan
sebuah pembenaran bahwa Islam itu warna-warni. Demikian juga, ketika sains
dicari-cari pembenarannya dari dalil-dalil agama, maka yang lahir kelak
pembajakan dalil-dalil agama. Sehingga langit yang tujuh dipahami sebagai
planet yang jumlahnya tujuh, seperti pernah dikemukakan oleh sebagian filsuf
Muslim di abad pertengahan.[23]
C.
Perbedaan
Ilmu Menurut Islam dan Barat
Dalam Islam tidak
mengenal dikotomi ilmu yang satu diakui yang lainnya tidak. Yang logis-empiris
dikategorikan ilmiah, sedangkan yang berdasarkan pada wahyu tidak dikategorikan
ilmiah.
Jika kita melihat
prestasi-prestasi keilmuan ulama-ulama terdahulu seperti Al-Khawarizmi yang
menemukan angka nol, dari angka nol ini maka berkembanglah ilmu perhitungan
yang kemudian menjadi dasar pengembangan teknologi komputer. Dalam bidang
fisika terdapat dua orang tokoh yang menonjol yaitu Al-Biruni dan Ibnu Haitsam.
Al-Biruni telah mendahului Newton dalam menemukan hukum gravitasi. Ibnu Haitsam
telah menulis karya besar dalam bidang optik sebanyak tujuh jilid dengan judul Al-Manazhir dan masih banyak lagi
prestasi keilmuan ulama Islam. Dari prestasi itu kita dapat mengetahui bahwa umat
Islam sejak dari awal mengakui dua jenis keilmuan sekaligus, ilmu agama dan
ilmu alam. Kedua jenis ini dikategorikan sebagai pengetahuan yang ilmiah dan
dikembangkan dengan melalui metode yang ilmiah pula.
Hal ini tentu berbeda
dengan barat yang mendikotomi ilmu. Antara ilmu yang disebut dengan istilah science dan knowledge. Istilah science
diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu fisik atau empiris. Sedangkan istilah knowledge diperuntukkan bagi
bidang-bidang ilmu nonfisik seperti mental dan metafisika. Istilah science diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan ilmu pengetahuan sementara knowledge
diterjemahkan dengan pengetahuan saja. Dengan kata lain, hanya ilmu yang
sifatnya fisik dan empiris saja yang bisa dikategorikan ilmu, sementara
sisanya, seperti ilmu agama tidak bisa dikategorikan ilmu (ilmiah).
D.
Objek
Ilmu
Dalam Islam terdapat
dua alam yang disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu alam non fisik atau metafisik (‘alam al-ghayb) dan alam fisik atau
tampak (‘alam al-syahadah). Dalam
menjelaskan objek ilmu pengetahuan, para filsuf Muslim memberikan penjelasan
mengenai objek-objek ilmu pengetahuan sesuai dengan status ontologisnya.[24]
Alam metafisik atau alam absolut tersebut tidak dapat diketahui manusia kecuali
melalui wahyu karena hanya Allah swt yang mengetahui yang gaib, sebagaimana
firman Allah swt dalam ayat-ayat berikut ini.[25]
50.
Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada
padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku
mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. aku tidak mengikuti kecuali apa
yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan
yang melihat?" Maka Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?"
(Q.S Al-An’am : 50).
47.
Ataukah ada pada mereka ilmu tentang yang ghaib lalu mereka menulis (padanya
apa yang mereka tetapkan)? (Q.S Al-Qalam:47).
59.
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan
di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya
(pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak
sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata
(Lauh Mahfudz)"
(Q.S Al-An’am)
Untuk mengetahui alam
metafisik tidak dapat dilakukan secara langsung namun harus dengan perantaraan
wahyu. Bahkan Rasulullah saw sendiri tidak mengetahui perkara-perkara yang
metafisik atau ghaib kecuali apa-apa yang dikabarkan Allah swt kepadanya
melalui wahyu. Oleh karena itu ilmu dalam Islam tidak bisa terlepas dari wahyu
sebagaimana Allah swt berfirman:
Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
(Q.S. Al-Alaq : 5)
Hal ini menunjukan
bahwa Al-Qur’an menyatakan dirinya sebagai pembimbing dan petunjuk bagi manusia
di dalam alam metafisik.[26]
Sedangkan representasi alam fisik dapat dirasakan secara langsung oleh fakultas
eksternal dan melalui akal. Namun mengandalkan ilmu pancaindera dan akal semata
tanpa iman, tidak akan mampu mencapai petunjuk Allah swt dan bahkan diberikan
azab yang pedih.[27]
101. Katakanlah: "Perhatikanlah apa
yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan
Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".(Q.S.
Yunus:101).
Melalui penjelasan di
atas dapat disimpulkan bahwa objek ilmu dalam Islam tidak sebatas berbicara
pada objek fisik saja akan tetapi mencakup objek fisik dan metafisik.
E.
Sumber
Ilmu dan Cara Memperolehnya
Sumber-sumber ilmu
dalam epistemologi Islam yaitu: Al-Qur’an, Hadits, Akal dan Qolbu, dan Indra.
Sedangkan cara memperoleh ilmu dalam Islam terkait erat dengan peran jiwa
manusia dan diperoleh melalui beberapa sumber, yaitu: persepsi indra, akal
sehat (ta’aqul), dan intuisi serta
berita yang benar (khabar shadiq).
Dalam epistemologi Islam sumber ilmu tertinggi adalah Al-Qur’an dan Hadits
sehingga nilai ilmiah (scientific value)
dari wahyu tersebut harus diletakkan pada tempat yang semestinya dan tidak
boleh dipisahkan dari sains atau ilmu.[28]
F.
Kedudukan
Ilmu Dalam Islam
Kedudukan ilmu dalam
Islam sangat penting dan mulia ini terlihat di dalam Al-Qur’an penyebutan kata ‘ilm beserta turunannya di gunakan lebih
dari 780 kali.[29] Sedangkan
Adian Husaini mengatakan
kata “al-ilm “ dan derivasinya
mencapai 823 kali.[30]
Ini bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari al-Qur’an sangat
kental dengan nuansa nuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi
ciri penting dari agama Islam. Sebagaimana dikemukakan oleh Dr Mahadi Ghulsyani sebagai berikut ; Salah
satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya
terhadap masalah ilmu (sains), Al quran dan Al –sunah mengajak kaum muslim
untuk mencari dan mendapatkan Ilmu dan kearifan ,serta menempatkan orang-orang
yang berpengetahuan pada derajat tinggi.
Nashruddin Syarif mengatakan penekanan kepada ilmu
dalam ajaran Islam sangat jelas terlihat dalam Al-Qur’an, sunnah Nabi saw, dan
ajaran semua tokoh Islam dari dulu sampai sekarang. Di antara yang paling utama
adalah Al-Qur’an surah al-‘Alaq ayat 1-5 yang memberikan tekanan pada pembacaan
sebagai wahana penting dalam usaha keilmuan, dan pengukuhan kedudukan Allah swt
sebagai sumber tertinggi ilmu pengetahuan manusia.[31]
Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhan-mu yang Menciptakan, Dia telah Menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhan-mulah Yang Maha Mulia. Yang Mengajar
(manusia) dengan pena. Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.
Dalam
menafsirkan kelima ayat di atas, Ibnu Katsir menyoroti pentingnya ilmu bagi
manusia. Ibnu katsir menulis:
“Dalam
ayat-ayat ini terdapat peringatan bahwasanya manusia diciptakan dari segumpal
darah. Dan di antara bentuk anugerah Allah Ta’ala adalah mengajarkan manusia
apa yang semula tidak diketahuinya. Maka kemuliaan dan keagungan manusia
terletak pada ilmu. Dan inilah kemampuan yang membuat bapak manusia, Adam lebih
istimewa daripada malaikat”.
Penekanan menuntut ilmu
dapat terlihat juga dari kedudukan orang-orang yang mencari, memiliki,
mengajarkan dan mengamalkan ilmu (ulama). Al-Qur’an menegaskan bahwa sangat
berbeda sekali antara orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui.[32]
Kedudukan Islam sangat penting dan mulia dikarenakan hal-hal berikut ini:
1.
Islam Mewajibkan Pencarian Ilmu Pengetahuan
طَلَبُ
العِلمِ فَرِيضَةٌ على كُلِّ مُسلِمٍ
“Menuntut
ilmu itu wajib bagi setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah)
Sebagian ulama salaf berkata,
اطلبوا
العلم من المهد إلى اللحد
”Tuntutlah ilmu dari buaian (ketika masih
kecil, pen.) hingga liang lahat (sampai meninggal dunia, pen..)”.[33]
2.
Kedudukan orang-orang yang mencari, memiliki, mengajarkan dan mengamalkan ilmu
(ulama).
Alquran menegaskan bahwa
sangat berbeda sekali antara orang yang mengetahui dan orang yang tidak
mengetahui.
9.
(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang
beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada
(azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya
orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
(Q.S Az-Zumar: 9)
3.
Allah Angkat Derajat Orang Yang
Berilmu
Allah swt mengangkat
derajat orang-orang yang berilmu, sebagaimana Allah berfirman dalam surah
Al-Mujadilah ayat 11:
11. Hai orang-orang
beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam
majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan.(Q.S. Al-Mujadilah: 11)
4. Semua
Pencari Ilmu Akan Dimudahkan Jalannya Ke Surga.
Allah akan memudahkan jalan menuju surga[34],
sebagaimana Rasulullah saw bersabda:
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا
يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Siapa yang menempuh
jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.”
(HR. Muslim, no. 2699)
Sebagaimana kata sebagian ulama kala
suatu ilmu diamalkan[35],
مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ أَوْرَثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا
لَمْ يَعْلَمْ
“Siapa yang
mengamalkan suatu ilmu yang telah ia ilmui, maka Allah akan mewarisinya ilmu
yang tidak ia ketahui.”
Begitu juga dalam ayat disebutkan,
Dan
Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.”
(Q.S. Maryam: 76)
Juga pada firman Allah,
“Dan
orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka
dan memberikan balasan ketaqwaannya.” (Q.S. Muhammad: 17)
5.
Allah Ta’ala Menjadikan
Kebaikan Untuknya
Sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْـرًا
يُـفَـقِـهْهُ فِي الدِّيْنِ .
Artinya: “Barang
siapa yang dikehendaki kebaikannya oleh Allah, Dia akan menjadikannya mengerti
tentang (urusan) agamanya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari
(no. 71, 3116, 7312), Muslim (no. 1037), Ahmad (IV/92, 95, 96), Ibnu ‘Abdil
Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/122-123, no. 84), dari
Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu’anhu][36]
6.
Orang Yang Menuntut Ilmu Syar’i
Dimohonkan Ampun Oleh Penduduk Langit Dan Bumi, Serta Dinaungi Oleh Sayap-Sayap
Para Malaikat. Sebagaimana Disebutkan Dalam Sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam,
Artinya: “Barang
siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah memudahkan jalannya
menuju Surga. Sesungguhnya para Malaikat membentangkan sayapnya untuk orang
yang menuntut ilmu karena ridha atas apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya
orang yang berilmu benar-benar dimintakan ampun oleh penghuni langit dan bumi,
bahkan oleh ikan-ikan yang berada di dalam air.” (H.R. Abu Dawud)[37]
Hadits di atas menyebutkan tentang
keutamaan mempelajari ilmu syar’i dibandingkan ilmu-ilmu lainnya. Dan ini juga
menunjukkan bahwa orang yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya adalah
orang yang tidak dikehendaki kebaikannya oleh Allah.
7.
Seorang yang memiliki ilmu dan mengajarkannya
akan tetap mendapatkan pahala atas ilmu yang telah diajarkannya tersebut selama
ilmu itu diamalkan, meskipun dia telah meninggal dunia.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَـانُ
انْـقَـطَـعَ عَـمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ، وَعِلْمٌ
يُنْـتُفَـعُ بِهِ، وَوَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُولَهُ .
Artinya: “Apabila
seorang manusia meninggal dunia, amalannya terputus, kecuali tiga hal (yaitu):
sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya.” (H.R.
Muslim)[38]
Sebenarnya
banyak sekali hal-hal yang memposisikan ilmu dan penuntut ilmu menempati
kedudukan yang sangat mulia dan penting. Namun dari beberapa poin yang
disebutkan tadi menandakan bahwa ilmu dalam Islam memiliki kedudukan yang
sangat penting dan mulia.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ilmu
tidak bisa didefinisikan secara hadd
akan tetapi dapat didefiniskan secara rasm.
Klasifikasi ilmu dalam Islam dibagi menjadi dua, yaitu ilmu syar’iyyah dan ilmu ghairu syar’iyyah Dalam Islam tidak mengenal dikotomi ilmu yang
satu diakui dan yang lain tidak. Semua jenis ilmu pengetahuan apakah itu
logis-empiris atau yang sifatnya wahyu diakui sebagai sesuatu yang ilmiah.
Berbeda dengan barat yang menganggap bahwa ilmu yang sifatnya wahyu tidak
termasuk ilmu hanya pengetahuan saja dan dianggap tidak ilmiah. Sumber ilmu
dalam Islam terdiri dari Al-Qur’an, Hadits, akal dan qolbu, indera. Kedudukan
ilmu dalam Islam sangat penting dan sangat mulia karena disamping kewajiban
setiap muslim adalah menuntut ilmu, proses mencari ilmu memiliki
keutamaan-keutamaan dan orang yang berilmu memiliki kedudukan yang berbeda
dengan orang-orang yang tidak berilmu.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku:
Al Attas, Muhammad Naquib. 2011. Islam dan Sekularisme. Bandung: Institut
Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan.
Al-Faruqi, Achmad Reza Hutama. 2015. Kalimah
Journal Of Islamic Thought: Konsep Ilmu Dalam Islam. UNIDA Gontor :
Ponorogo.
Arif,
Syamsuddin. 2013. Filsafat Ilmu: Konsep Ilmu
dalam Islam. Jakarta: Gema
Insani.
Husaini,
Adian. 2013. Filsafat Ilmu: Urgensi Epistemologi Islam, Jakarta: Gema Insani.
Kania,
Dinar Dewi. 2013. Filsafat Ilmu: Objek
Ilmu dan Sumber-Sumber Ilmu. Jakarta: Gema Insani.
Rusn,
Abidin Ibnu. 2009. Pemikiran Al-Ghazali
Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syarif, Nashruddin. 2013. Filsafat Ilmu: Konsep Ilmu dalam Islam. Jakarta: Gema Insani.
Tim
Redaksi. 2016. Kamus Besar Bahasa
Indonesia Offline. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Internet:
Ukasyah,
Sa’id Abu. Skala
Prioritas dalam Belajar Agama Islam (2): Ilmu Fardhu ‘Ain Dan Ilmu Fardhu
Kifayah, https://muslim.or.id/24689-skala-prioritas-dalam-belajar-agama-islam-2-ilmu-fardhu-ain-dan-ilmu-fardhu-kifayah.html,
diakses tanggal 29 Agustus 2017 pukul 9:19 WIB.
[1] Syed Muhammad Naquib Al Attas, Islam
dan Sekularisme, Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan,
2011, h. 178
[2] Achmad Reza Hutama Al-Faruqi, Kalimah Journal Of Islamic Thought: Konsep
Ilmu Dalam Islam, UNIDA Gontor : Ponorogo, 2015, h. 225
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia
Offline
[4] Menurut KBBI, minda adalah pusat
kesadaran yang membangkitkan pikiran, perasaan, ide, dan persepsi, serta
menyimpan pengetahuan dan ingatan.
[5] Syamsuddin Arif, Filsafat
Ilmu: Konsep Ilmu dalam Islam,
Jakarta: Gema Insani, 2013, h. 75-77
[6] Hadd adalah Sesuatu yang didefinisikan
dengan adanyanya pembatasan ( tahshir) dan mencakup segala sesuatu serta
menghalangi sesuatu yang lain untuk memasukinya dan keluar darinya
[7] Muhammad Naquib Al Attas, Islam dan
Sekularisme, Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan, 2011,
h. 178
[8] Nashruddin Syarif, Filsafat Ilmu:
Konsep Ilmu dalam Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, h. 61
[9] Nashruddin Syarif, Filsafat Ilmu:
Konsep Ilmu dalam Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, h. 63
[10]
Nashruddin Syarif, Filsafat Ilmu: Konsep Ilmu dalam Islam,
Jakarta: Gema Insani, 2013, h. 63
[11] Ibid
[12] Maksudnya: Allah mengajar
manusia dengan perantaraan tulis baca
[13] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran
Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, h.44
[14] Ibid, 44
[15] Nashruddin Syarif, Filsafat Ilmu:
Konsep Ilmu dalam Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, h. 66
[16] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, h.44
[17] Ilmu sirri yaitu (ilmu mengetahui
status manusia) sehingga dengan tahu status dirinya sebagai hamba Allah yang
tujuan diciptakan adalah ibadah ia akan sadar melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan Allah dengan ikhlas dan penuh kesadaran diri, tidak terpaksa
[18] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, h.46
[19] Sa’id
Abu Ukasyah, Skala
Prioritas dalam Belajar Agama Islam (2): Ilmu Fardhu ‘Ain Dan Ilmu Fardhu
Kifayah, https://muslim.or.id/24689-skala-prioritas-dalam-belajar-agama-islam-2-ilmu-fardhu-ain-dan-ilmu-fardhu-kifayah.html,
diakses tanggal 29 Agustus 2017 pukul 9:19 WIB, dikutip dari Kitabul Ilmi, Muhammad Sholeh
Al-‘Utsaimin hal. 23
[20] Sa’id Abu Ukasyah, Skala Prioritas
dalam Belajar Agama Islam (2): Ilmu Fardhu ‘Ain Dan Ilmu Fardhu Kifayah, https://muslim.or.id/24689-skala-prioritas-dalam-belajar-agama-islam-2-ilmu-fardhu-ain-dan-ilmu-fardhu-kifayah.html,
diakses tanggal 29 Agustus 2017 pukul
9:19 WIB
[21] Nashruddin Syarif, Filsafat Ilmu:
Konsep Ilmu dalam Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, h. 66
[22] Nashruddin Syarif, Filsafat Ilmu:
Konsep Ilmu dalam Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, h. 67
[23] Ibid. h. 68
[24] Achmad Reza Hutama Al-Faruqi, Kalimah Journal of Islamic Thought: Konsep
Ilmu Dalam Islam, Faculty of Ushuluddin and Association of Ushuluddin’s
Bachelor, University of Darussalam (UNIDA) Gontor
[25] Dinar Dewi Kania, Filsafat Ilmu: Objek Ilmu dan Sumber-Sumber
Ilmu, Jakarta: Gema Insani, 2013, h. 89.
[26] Dinar Dewi Kania, Filsafat Ilmu: Objek Ilmu dan Sumber-Sumber
Ilmu, Jakarta: Gema Insani, 2013, h. 91.
[27] Ibid,
[28] Dinar Dewi Kania, Filsafat Ilmu: Objek Ilmu dan Sumber-Sumber
Ilmu, Jakarta: Gema Insani, 2013, h. 110
[30] Adian Husaini, Filsafat Ilmu: Urgensi Epistemologi Islam,
Jakarta: Gema Insani, 2013, h.27
[31] Nashruddin Syarif, Filsafat
Ilmu: Konsep Ilmu dalam Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, h. 51
[36] Ibid
[37] [Hadits shahih,
diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3641), Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no.
223), Ahmad (V/196), Ad-Darimi (I/98), Ibnu Hibban (88 – Al-Ihsan dan
80 – Al-Mawarid), Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/275-276,
no. 129), Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/174
,no. 173), dan Ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar(I/429), dari Abud
Darda’ radhiyallahu’anhu]. https://rumaysho.com/12363-menuntut-ilmu-jalan-paling-cepat-menuju-surga.html
[38] [Hadits shahih, diriwayatkan
oleh Muslim (no. 1631), Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no.
38), Ahmad (II/372), Abu Dawud (no. 2880), An-Nasa’i (VI/251), Tirmidzi (no.
1376), Al-Baihaqi (VI/278), dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil
‘Ilmi (I/103 ,no. 52), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Comments
Post a Comment